Selasa, 30 November 2010

Tumor payudara adalah benjolan pada payudara yang terbentuk akibat sel-sel payudara yang membelah dan menggandakan diri terlalu cepat. Tumor payudara dapat bersifat jinak dan ganas. Tumor jinak payudara tidak menyebar ke jaringan sekitar maupun ke organ tubuh lain. Tumor ganas payudara dapat menyebar ke jaringan sekitar maupun ke organ tubuh lain. Tumor ganas payudara inilah yang disebut kanker payudara. Bagaimanakah cara kita mengetahui kelainan payudaraSebenarnya sangat mudah melakukannya tinggal kita bayangkan → kemudian kita rasakan → kita lihat → kita raba → kita lakukan pemeriksaan secara lebih mendalam (mamografi).
Hal yang pertama adalah kita bayangkan : gampang saja kita bayangkan bentuk payudara yang normal kemudian kita cocokkan dengan punya kita
Hal yang kedua kita rasakan : paling gampang adalah perasaan nyeri. Rasa nyeri ini bisa terjadi dalam keadaan normal maupun tidak normal. Yang normal adalah perasaan nyeri yang dirasakan sewaktu mendapatkan haid (menstruasi). Perasaan nyeri ini biasanya dirasakan tidak satu sisi tetapi dua-duanya. Adapun perasaan nyeri yang tidak normal adalah saat terjadi infeksi/peradangan, trauma, tumor, dll.
Hal yang ketiga adalah kita lihat : dilakukan dengan duduk di depan kaca → setelah selesai mengamati angkat kedua lengan ke atas kemudian amati lagi.
1. Kita perhatikan warna kulit pada bagian payudara yang sakit, biasanya akan tampak kemerahan atau malah tampak seperti kulit jeruk (keriput). Warna kemerahan bisa disebabkan karena infeksi, sedangkan kalau terlihat seperti kulit jeruk ini disebabkan karena edema. Kalau muncul seperti gambaran ini kita harus lebih waspada karena bisa jadi gejala kanker.
2. payudara yang tampak tidak sama besarnya
Pembesaran payudara, keadaan ini juga bisa terjadi dalam keadaan normal maupun tidak normal. Yang normal adalah pembesaran payudara saat mendapatkan haid dan saat hamil/menyusui.
Penarikan puting susu, keadaan ini bisa terjadi karena ada sesutu hal di sekitar (bawah) puting entah itu tumor ataupun yang lainya.
3. Puting susu mengeluarkan cairan. Pengeluaran cairan dari puting susu yang normal terjadi pada saat hamil/menyusui, pengaruh penggunaan pil kontrasepsi yang lama, masa menyusui yang terlalu lama. Sedangkan yang tidak normal apabila cairannya kemerahan, bau busuk ataupun amis disertai keadaan payudara yang tidak normal.
Hal yang keempat adalah kita raba :
Pada perabaan : payudara yang sakit terasa panas, teraba benjolan (empuk, atau keras), sakit saat diraba. Ada teknik – teknik khusus yang dilakukan untuk memeriksa payudara yakni dengan cara melakukan periksa payudara sendiri (SADARI).
Caranya :
1. Pijatlah pelan-pelan daerah sekitar puting dan amatilah apakah tidak keluar cairan yang tidak normal. Dalam keadaan normal, kedua puting susu: simetris, bebas digerakan, dan hanya mengeluarkan air susu.
2. Berbaringlah dengan lengan kanan di bawah kepala → letakkan bantal kecil di bawah punggung kanan → rabalah seluruh permukaan payudara kanan anda dengan tangan kiri, caranya : rabalah dengan 3 pucuk jari tengah yang dirapatkan → lakukan gerakan memutar dengan tekanan lembut tapi mantap, dimulai dari pinggir terus ke tengah (puting), dan kembali lagi dari pinggir dengan mengikuti arah putaran jarum jam → perhatikan bila ada benjolan yang mencurigakan. INGAT ! GEJALA PERTAMA dan utama dari kanker payudara adalah timbul benjolan.
3. Lakukan hal yang sama, tapi dengan lengan kiri di bawah kepala sedang tangan kanan meraba payudra kiri anda.
4. Bagian payudara sebelah samping (kanan dan kiri) adalah bagian yang paling sering ditemukan tumor payudara.
5. Bila meraba benjolan yang mencurigakan, konsultasikan segera ke dokter anda.
6. Lakukan SADARI sekali sebulan setelah haid.
Hal yang kelima ini bisa kita lakukan pada awal atau pada akhir tahap yakni dengan pemeriksaan secara lebih mendalam. Pemeriksaan ini bisa dilakukan dengan mamografi. Keuntungan pemeriksaan dengan cara mamografi ini adalah teknik ini diharapkan bisa mendeteksi kelainan payudara seawal mungkin. Jadi kita bisa mengetahui kelainan awal sebelum semuanya jadi berantakan.Bicara mengenai kelainan payudara, maka kita mengenal beberapa kelainan antara lain :
1. Kelainan Kongenital (bawaan): kelainan bentuk (amastia kiri), jumlah puting susu
2. Radang (infeksi) : mastitis,
3. Tumor jinak : FAM, kista payudara
4. Tumor ganas : kanker payudara
Keterangan :
a. Kelainan Kongenital
• Amastia, kelainan bentuk ini bisa terjadi manakala payudara yang satu tidak tumbuh secara sempurna, jadi kesannya cuma memiliki 1 payudara saja.
b. Radang/infeksi
• Mastitis lazim terjadi pada wanita yang sedang hamil ataupun menyusui walaupun pada kasus lain juga ada yang . Disebut mastitis karena pada payudaranya mengalami radang. Radang timbul bila terjadi perlukaan di payudaranya sehingga memudahkan kuman masuk dan menginfeksinya. Penyakit ini ada 2 tahap yakni tahap peradangan dan tahap abses (Jawa : wudun). Saat tahap yang pertama biasanya cukup dikompres dengan air hangat, kemudian diberikan obat penghilang rasa nyeri dan bagian yang sakit disokong dengan kain 3 sisi. Bila sudah memasuki tahap abses, maka abses itu harus dibersihkan → kemudian dikasih drain untuk mengalirkan nanah dan jaringan nekrotiknya → dibalut tekan untuk emnghentikan laktasi → diberi obat sesuai penyebabnya.
c. Tumor Jinak Payudara
• Fibro Adenoma Mamae (FAM). Ini merupakan salah satu jenis tumor jinak payudara. Biasa timbul pada wanita usia remaja sampai dewasa muda sekitar 20 – 35 tahun. Tumor ini selain menimbulkan benjolan yang pada perabaan kenyal, tidak melekat (bisa digerakkan), rasa sakit dirasakan tapi tidak sangat. Tidak ada hubungannya dengan siklus menstruasi artinya saat menstruasi tidak tambah besar, puting susunya tidak memperlihatkan adanya perubahan dan sama sekali tidak ada nyeri spontan.
• Nekrosis lemak : jenis tumor ini hampir menyerupai keganasan akan yakni teraba keras saat diraba. Cuma bedanya dengan kanker payudara adalah nekrosis lemak ini jarang sekali mengalami pembesaran. Jarang belum tentu tidak bisa membesar.
Pengobatan untuk kasus ini dilakukan dengan cara eksisi (operasi).
d. Kanker Payudara
• Karsinoma Mamae, jenis ini merupakan jenis tumor payudra yang sangat ganas. Mengapa ada tumor yang dikatakan ganas tapi ada yang tidak (jinak) ? Hal ini disebabkan karena yang ganas itu itu menyebar ke bagian tubuh yang lain. Misalnya dulunya cuma di payudara kanan tapi beberapa bulan kemudian muncul juga di kiri atau anak sebarnya menyangkut di paru-paru. Faktor resiko penyakit ini adalah : wanita yang kelamaan tidak memiliki anak (infertil). Hal ini dikarenakan ada yang saat hamil tidak mengalami ovulasi, penekanan ovulasi itulah yang dapat menekan resiko terjadinya Ca Mamae. Yang kedua adalah wanita yang anggota keluarganya ada yang sakit kanker payudara (heredofamilial).
Pengobatan untuk kasus ini tidak cukup hanya dilakukan pembedahan tetapi harus dilakukan sesuai dengan tingakat keganasannya. Sehingga setelah dibedah kadang ada yang harus di sinar, ada yang harus menjalani kemoterapi, ada yang dilakukan operasi untuk mengambil indung telurnya (ooforektomi).
Tumor PayudaraTumor jinak dan padat bisa berkembang dalam jaringan serat payudara . Tumor semacam ini umum diderita remaja wanita, meskipun dapat terjadi pada wanita segala usia. Biasanya dilakukan biopsi untuk melihat adanya keganasan.Menurut Melvin J Siverstein, MD , " Sebaiknya tumor semacam itu diangkat, terutama jika menimbulkan rasa sakit ( jarang terjadi ) atau jika menyebabkan rasa tidak nyaman. Pengangkatan tumor dilakukan dengan operasi . "
PENGERTIAN
1. Fibroadenoma adalah suatu tumor jinak yang merupakan pertumbuhan yang meliputi kelenjar dan stroma jaringan ikat.
2. Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak pada payudara yang bersimpai jelas, berbatas jelas, soliter, berbentuk benjolan yang dapat digerakkan.
PENYEBAB GANGGUAN
1. Peningkatan aktivitas Estrogen yang absolut atau relatif.
2. Genetik : payudara
3. Faktor-faktor predisposisi :
a. Usia : < 30 tahun
b. Jenis kelamin
c. Geografi
d. Pekerjaan
e. Hereditas
f. Diet
g. Stress
h. Lesi prekanker
TANDA & GEJALA
1. Secara makroskopik : tumor bersimpai, berwarna putih keabu-abuan, pada penampang tampak jaringan ikat berwarna putih, kenyal
2. Ada bagian yang menonjol ke permukaan
3. Ada penekanan pada jaringan sekitar
4. Ada batas yang tegas
5. Bila diameter mencapai 10 – 15 cm muncul Fibroadenoma raksasa ( Giant Fibroadenoma )
6. Memiliki kapsul dan soliter
7. Benjolan dapat digerakkan
8. Pertumbuhannya lambat
9. Mudah diangkat dengan lokal surgery
10. Bila segera ditangani tidak menyebabkan kematian
PATOFISIOLOGIFibroadenoma merupakan tumor jinak payudara yang sering ditemukan pada masa reproduksi yang disebabkan oelh beberapa kemungkinan yaitu akibat sensitivitas jaringan setempat yang berlebihan terhadap estrogen sehingga kelainan ini sering digolongkan dalam mamary displasia.Fibroadenoma biasanya ditemukan pada kuadran luar atas, merupakan lobus yang berbatas jelas, mudah digerakkan dari jaringan di sekitarnya. Pada gambaran histologis menunjukkan stroma dengan proliferasi fibroblast yang mengelilingi kelenjar dan rongga kistik yang dilapisi epitel dengan bentuk dan ukuran yang berbeda. Pembagian fibroadenoma berdasarkan histologik yaitu :
1. Fibroadenoma Pericanaliculare
Yakni kelenjar berbentuk bulat dan lonjong dilapisi epitel selapis atau beberapa lapis.
2. Fibroadenoma intracanaliculare
Yakni jaringan ikat mengalami proliferasi lebih banyak sehingga kelenjar berbentuk panjang-panjang (tidak teratur) dengan lumen yang sempit atau menghilang.
Pada saat menjelang haid dan kehamilan tampak pembesaran sedikit dan pada saat menopause terjadi regresi.
PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Biopsi
2. Pembedahan
3. Hormonal
4. PET ( Positron Emision Tomografi )
5. Mammografi
6. Angiografi
7. MRI
8. CT – Scan
9. Foto Rontqen ( x – ray )
10. Blood Study
PENCEGAHAN DAN DETEKSI DINI
1. Faktor-faktor resiko
2. Pemerikasaan payudara sendiri
3. Pemeriksaan klinik
4. Mammografi
5. Melaporkan tanda dan gejala pada sumber/ahli untuk mendapat perawatan.
DIAGNOSA KEPERAWATAN
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan syaraf, suplay vaskularisasi atau efek samping therapy/tindakan,
Gangguan ganbaran diri (body image) berhubungan dengan tindakan pembedahan
Resiko tinggi gangguan integritas jaringan/kulit berhubungan dengan efek treatment.
RENCANA KEPERAWATAN
Dx 1
Nyeri akut berhubungan dengan kerusakan jaringan syaraf, suplay vaskularisasi atau efek samping therapy/tindakan,
Tujuan
Nyeri berkurang/dapat teratasi dengan kriteria :
- Melaporkan rasa nyeri yang sudah teratasi (rasa nyeri berkurang)
- Dapat mongontrol ADLs seminimal mungkin.
Dapat mendemontrasikan keterampilan relaksasi dan aktivitas diversional sesuai situasi individu.
Intervensi
Independent :
1. Kaji riwayat nyeri seperti lokasi; frekwensi ; durasi dan intensitas (skala 1 – 10) dan upaya untuk mengurangi nyeri.
2. Beri kenyamanan dengan mengatur posisi klien dan aktivitas diversional.
3. Dorong penggunaan stress management seperti tehnik relaksasi, visualisasi, komunikasi therapeutik melalui sentuhan.
4. Evaluasi/Kontrol berkurangnya rasa nyeri. Sesuaikan pemberian medikasi sesuai kebutuhannya
Kolaborasi :
5. Kembangkan rencana management penanganan sakit dengan klien dan dokter
Beri analgetik sesuai indikasi dan dosis yang tepat.
Rasional
1. Informasi merupakan data dasar untuk evaluasi atau efektifitas intervensi yang dilakukan. Pengalaman nyeri setiap individu bervariasi karena mengganggu fisik dan psikologi.
2. Menolong dan meningkatkan relaksasi dan refokus
3. Melibatkan dan memberikan partisipasi aktif untuk meningkatkan kontrol
4. Tujuan umum/maksimal mengomtrol tingkat nyeri dan minimum ada keterlibatan dalam ADLs.
5. Rencana terorganisasi dan meningkatkan kesempatan dalam mengontrol rasa sakit. Klien harus berpartisipasi aktif dalam perawatan di rumah.
6. Nyeri merupakan dampak/komplikasi suatu tindakan atau keadaan penyakit serta perbedaan respon individu.
Dx 2
Gangguan ganbaran diri (body image) berhubungan dengan tindakan pembedahan
Tujuan
Gambaran diri berkembang secara positif dengan kriteria :
- Mengerti tentang perubahan pada tubuh.
- Menerima situasi yang terjadi pada dirinya.
- Mulai mengembangkan mekanisme koping pemecahan masalah.
- Menunjukkan penyesuaian terhadap perubahan.
- Dapat menerima realita.
Hubungan interpersonal adekuat.
Intervensi
1. Diskusi dengan klien tentang diagnosa dan tindakan guna membantu klien agar dapat aktif kembali sesuai ADLs.
2. Review/antisipasi efek samping kaitan dengan tindakan yang dilakukan termasuk efek yang mengganggu aktivitas seksual.
3. Dorong untuk melakukan diskusi dan menerima pemecahan masalah dari efek yang terjadi.
4. Beri informasi/ konseling sesering mungkin.
5. Beri dorongan/ support psikologis.
6. Gunakan sentuhan perasaan selama melakukan interaksi (pertahankan kontak mata).
Kolaborasi :
7. Refer klien pada kelompok program tertentu.
8. Refer pada sumber/ahli lain sesuai indikasi.
Rasional
1. Menerima dam mengerti tentang hal-hal yang dilakukan merupakan awal proses penyelesaian masalah.
2. Antisipasi dini dapat menolong klien untuk mengawali proses adaptasi dalam mempersiapkan hal-hal yang dapat terjadi.
3. Dimungkinkan dapat menolong menurunkan masalah dengan keterlibatan sehingga dapat menerima tindakan yang dilakukan.
4. Validasi tentang kenyataan perasaan klien dan berikan tehnik koping sesuai kebutuhan.
5. Klien dengan gangguan neoplasma kanker membutuhkan support tambahan selama periode tersebut.
6. Penghargaan dan perhatian merupakan hal penting yang diharapkan klien guna menurunkan perasaan klien akan keraguan / ketidaknyamanan.
7. Grup support biasanya sangat bermanfaat bagi klien dengan meningkatkan kontak dengan klien lain dengan masalah sama.
8. Mungkin berguna untuk mempertahankan struktur psikososial.
DAFTAR PUSTAKA
Doenges, Marilynn E. (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Edisi 3. (terjemahan). Penerbit buku Kedokteran EGC. Jakarta.
Junadi, Purnawan. (1982). Kapita Selekta Kedokteran, Jakarta: Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Long, Barbara C. (1996). Keperawatn Medikal Bedah. Volume I. (terjemahan). Yayasan Ikatan Alumni Pendidikan Keperawatan Pajajaran. Bandung.
Mansjoer, Arif., et all. (1999). Kapita Selekta Kedokteran. Fakultas Kedokteran UI : Media Aescullapius.
FIBRO ADENOMA MAMMAE
Fibroadenoma mammae (FAM), umumnya menyerang para remaja dan wanita dengan usia di bawah 30 tahun. Adanya fibroadenoma atau yang biasa dikenal dengan tumor payudara membuat kaum wanita selalu cemas tentang keadaan pada dirinya. Terkadang mereka beranggapan bahwa tumor ini adalah sama dengan kanker. Yang perlu ditekankan adalah kecil kemungkinan dari fibroadenoma ini untuk menjadi kanker yang ganas.
1. DEFINISI
Fibroadenoma mammae adalah tumor jinak yang paling sering terjadi pada wanita. Tumor ini terdiri dari gabungan antara kelenjar glandula dan fibrosa. Secara histologi:
intracanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang secara tidak teratur dibentuk dari pemecahan antara stroma fibrosa yang mengandung serat jaringan epitel.
pericanalicular fibroadenoma; fibroadenoma pada payudara yang menyerupai kelenjar atau kista yang dilingkari oleh jaringan epitel pada satu atau banyak lapisan.
Tumor ini dibatasi letaknya dengan jaringan mammae oleh suatu jaringan penghubung.
Fibroadenoma mammae timbul akibat pengaruh kelebihan hormon estrogen.
Fibroadenoma mammae dibedakan menjadi 3 macam:
• Common Fibroadenoma
• Giant Fibroadenoma umumnya berdiameter lebih dari 5 cm.
• Juvenile fibroadenoma pada remaja.
2. PENYEBAB
Fibroadenoma ini terjadi akibat adanya kelebihan hormon estrogen. Biasanya ukurannya akan meningkat pada saat menstruasi atau pada saat hamil karena produksi hormon estrogen meningkat.
3. GEJALA
Pertumbuhan fibroadenoma mammae umumnya tidak menimbulkan rasa sakit, hanya ukuran dan tempat pertumbuhannya yang menyebabkan nyeri pada mammae. Pada saat disentuh kenyal seperti karet
4. PATOLOGI
Makroskopi: tampak bulat, elastis dan nodular, permukaan berwarna putih keabuan.
Mikroskopi: epitel proliferasi tampak seperti kelenjar yang dikelilingi oleh stroma fibroblastic yang khas (intracanalicular f. dan pericanalicularf.).
5. PENEGAKAN DIAGNOSA
Pada awalnya penegakan diagnosa tehadap fibroadenoma mammae ini adalah dilakukan pemeriksaan fisik, kemudian akan dilakukan mammogram (x-ray pada mammae) atau ultrasound pada mammae apabila diperlukan. Yang paling pasti dan tepat dalam diagnosa terhadap fibroadenoma mammae ini adalah penggunaan sample biopsi. Pengambilan sampel biopsi ini dapat dilakukan dengan mengiris bagian mammae atau dengan memasukkan jarum yang kecil dan panjang untuk mengambil sampel sel fibroadenoma tersebut.
Diagnosa terhadap FAM ini dapat dibuat dengan penggabungan penilaian klinis, ultrasonografi dan pengambilan sampel dengan penggunaan jarum. Penilaian klinis terhadap benjolan payudara ini harus mempertimbangkan:
• Umur:
Karsinoma: umumnya menyerang pada usia menjelang menopause
Fibroadenoma: umumnya menyerang wanita usia di bawah 30 tahun
6. TREATMENT
Karena FAM adalah tumor jinak maka pengobatan yang dilakukan tidak perlu dengan pengangkatan mammae. Yang perlu diperhatikan adalah bentuk dan ukurannya saja. Pengangkatan mammae harus memperhatikan beberapa faktor yaitu faktor fisik dan psikologi pasien. Apabila ukuran dan lokasi tumor tersebut menyebabkan rasa sakit dan tidak nyaman pada pasien maka diperlukan pengangkatan.
7. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Seluruh susunan kelenjar payudara berada di bawah kulit di daerah pektoral. Terdiri dari massa payudara yang sebagian besar mengandung jaringan lemak, berlobus-lobus (20-40 lobus), tiap lobus terdiri dari 10-100 alveoli, yang di bawah pengaruh hormon prolaktin memproduksi air susu. Dari lobus-lobus, air susu dialirkan melalui duktus yang bermuara di daerah papila / puting. Fungsi utama payudara adalah laktasi, dipengaruhi hormon prolaktin dan oksitosin pascapersalinan.
Kulit daerah payudara sensitif terhadap rangsang, termasuk sebagai sexually responsive organ.
ASKEP TEORITIS
A. PENGKAJIAN
1. IDENTITAS
Meliputi identitas klien dan identitas penanggung jawab.
2. RIWAYAT KESEHATAN
a. Riwayat Kesehatan Dahulu
Kemungkinan klien pernah mendapat sinar radiasi pada buah dada. Ada kalanya klien pernah memperoleh terapi hormon untuk mendapatkan anak.
b. Riwayat Keseahatan Sekarang
Klien dengan post FAM akan tersa nyeri karena prosedur pembedahan, aktifitas menurun, nafsu makan menurun, stres/ takut terhadap penyakit dan harapan yang akan datang.
c. Riwayat Kesehatan Keluarga
Walaupun FAM bukan penyakit turunan tetapi angka statistik akan menunjukan bahwa FAM sering ditemukan pada wanita yang mempunyai hubungan keluarga.
3. RIWAYAT PSIKOSOSIAL
• Klien akan merasa cemas denngan penyakitnya.
• Kadang kala klien marah pada tim kesehatan terhadap tindakan operasi yang akan dilakukan.
• Kadang – kadang klien sering bertanya, mengapa saya yang yang sakit, mengapa tidak orang lain saja yang sakit.
• Ada kalanya klien tidak mau ada orang yang menjenguknya.
4. RIWAYAT SPIRITUAL
Biasanya klien dengan FAM tidak mengalami gangguan dalam menjalani ibadah.
5. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
• LED meningkat.
• Serum alkali pospalse meningkat.
• Hipercalsemia.
b. Rontgen thorax dan alat lain
Untuk menentukan apakah sudah ada metastase atau belum.
B. KEMUNGKINAN DIAGNOSA
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d efek luka pembedahan.
2. Kecemasan tingkat sedang b/d kurangnya pengetehuan tentang pentingnya operasi.
3. Takut kehilangan fungsi mammae b/d kurangnya pengetahuan tentang tindakan operasi.
C. PERENCANAAN
1. Gangguan rasa nyaman nyeri b/d efek luka pembedahan.
Tujuan : nyeri bisa diatasi, rasa nyaman dapat dipenuhi.
Dengan kriteria :
- Nyeri berkurang.
- Rasa nyaman terpenuhi.
Intervensi :
Kaji faktor – faktor yang dapat menurunkan toleransi klien terhadap nyeri dan diskusikan alasan mengapa klien mengalami peningkatan nyeri.
Alihakan perahatian klien pada waktu serangan nyeri akut, seperti : nafas dalam, membaca koran, mendiskusikan hal – hal yang menarik.
Berikan penjelasan tentang penyebab nyeri.
Bantu klien untuk mendapatkan posisi yang menyenangkan.
Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian obat – obat analgetik.
2. Kecemasan tingkat sedang b/d kurangnya pengetehuan tentang pentingnya operasi.
Tujuan : kecemasan klien dapat teratasi.
Kriteria :
- Klien dapat mengungkapkan perasaan cemasnya secara terbuaka.
- Klien dapat bekerja sama dalam tindakan.
- Klien terlihat tenang.
Intervensi :
Lakukan pendekatan dengan klien dan keluarga.
Gunakan komunikasi efektif dan mudah dipahami.
 Monitor tingkat kecemasan melalui observasi.
Pertahankan lingkungan yang aman dan tenang.
Berikan penjelasan tentang pentingnya operasi.
Anjurkan klien untuk mendekatkan diri pada tuhan.
3. Takut kehilangan fungsi mammae b/d kurangnya pengetahuan tentang tindakan operasi.
Tujuan : klien mengerti tentang penyakitnya dan manfaat dari operasi.
Kriteria :
- Klien dapat mengungkapkan penerimaannya tentang penyakit yang dideritanya.
- Klien tampak lebih tenang.
- Klien berpatisipasi dalam pelaksanaan tindakan.
Intervensi :
Berikan penjelasan pada klien manfaat dari operasi.
Perbaiki persepsi klien yang salah dengan memberikan informasi yang adekuat.
Beri contoh pada klien orang yang pernah mengalami operasi yang sama dan mammaenya dapat berfungsi dengan baik.

Sabtu, 06 November 2010

for Bali
• Home |
• YPSB |
• CASA |
• Crisis Center |
• Meditasi Suryani |
• Previous Site |
• Contact
Trauma Salah Satu Penyebab Gangguan Jiwa
Posted by cokyaya on 14 Feb 2009 11:20 am. Filed under Berita.
SEBANYAK 7000 orang di Bali diperkirakan mengalami gangguan jiwa berat yang tidak tertangani. Ini merupakan hasil survei Layanan Hidup Bahagia (LHB) di bawah koordinasi Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Gejalanya menarik diri dari pergaulan, lebih sering berada di kamar, bengong, berbaring atau melamun, emosinya tumpul, mukanya datar tidak berekspresi saat sedih atau sedang tertawa, mengamuk.
Menurut Prof. Dr. dr. L.K. Suryani, Sp.KJ. (K)., Ketua Suryani Institue for Mental Health, banyak warga masyarakat menganggap gangguan jiwa sebagai kutukan Tuhan dan tidak dapat disembuhkan. “Siapa pun dapat terkena gangguan jiwa, orang kaya atau miskin, pejabat atau masyarakat biasa,” ujarnya dalam seminar “Gangguan Skizofrenia”, Sabtu (14/2) di Wantilan DPRD Bali.

Ia mengungkapkan, adanya sebagian penderita gangguan jiwa yang dirantai, dikurung atau dikucilkan. Namun, kenyataannya, kata ahli kejiwaan FK. Unud ini, banyak dari mereka berhasil bangkit dan mampu merasakan indahnya hidup jika ditangani dengan baik.
Menurut Koordinator Wilayah LHB dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ skizofrenia atau lebih dikenal gangguan jiwa mulai muncul akhir masa remaja sampai dewasa muda.
Ia mengungkapkan, satu di antara 100 orang menderita gangguan jiwa. Ada tiga gangguan jiwa yakni fungsi pola berpikir terganggu, fungsi bahasa dan komunikasi terganggu, serta terganggunya fungsi dalam perilaku. Jika diajak mengobrol mereka tidak nyambung, berperilaku aneh, bahkan tidak mengenakan pakaian.
Ia menyebutkan ada dua gejala, positif dan negatif. Pada gejala positif gangguan ini tidak terjadi seketika. Ada proses yang mendahuluinya.
Gejala ini berlangsung sekitar satu bulan. Ciri pertama, mendengar suara-suara atau halusinasi. Ciri kedua, adanya waham yakni keyakinan salah yang terus dipertahankan. “Misalnya dia mengaku yakin sebagai keluarga Presiden Sukarno atau mereka merasa sebagai utusan Tuhan. Mereka berpakaian seperti nabi.
Padahal, sehari-hari tidak pernah bersembahyang,” papar Dokter Spesialis Kejiwaan FK Unud ini.
Gejala negatif seperti penarikan diri, tidak mau bergaul, atau tidak mau masuk sekolah. Ada kesulitan bagi mereka untuk merasakan kesenangan seperti yang tadinya bermain sepak bola, menyanyi, tetapi kini mulai merasakan tidak nyaman.
“Mereka mulai tidak mandi, dan mengalami gangguan tidur, sering bermimpi buruk dan mengerikan. Bahkan tidak tidur lebih dari tujuh hari, tidak mampu mengontrol dirinya, dan mulai tidak mengenakan pakaian,” ujarnya.
Penyebab gangguan jiwa tidak ada yang pasti. Teori kedokteran mengungkapkan ada yang melihat dari sudut biologis karena gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya.
Penyebab lain dari sudut psikologis. Bagaimana perkembangannya sejak mereka dilahirkan sampai mereka dibesarkan. Tak jarang, cara mendidik orangtua berpengaruh.
Penyebab lain, trauma. Ada trauma yang membuat mereka melihat kejadian itu sangat mengerikan sehingga mereka tidak mampu bereaksi atau merespons atau beradaptasi sampai normal kembali.
Contoh, banyak warga masyarakat Bali mengalami trauma luar biasa pasca-pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Tak jarang mereka menularkan trauma itu kepada anak dan cucu mereka.
Faktor lain karena stres dan psikososial, karena putus cinta, atau memiliki utang akhirnya membuat mereka jatuh dalam gangguan jiwa.
Dalam seminar itu juga terungkap kasus bunuh diri di Bali sangat tinggi. Sebanyak 48% kasus disebabkan ganguan jiwa berat atau depresi. Komang Adi, S.E., relawan LHB, melakukan penelitian di Kabupaten Karangasem. “Lebih dari 1000 orang menderita ganguan jiwa berat. Mereka tidak mau makan, tidak mau minum, merenung saja, mereka pun dipasung, dibiarkan tidur di tanah dekat kandang babi, tidak ada yang mengurus. Mereka dibiarkan begitu saja tanpa pertimbangan mereka juga manusia,” ujar Komang.
Data tersebut didapatkan Komang, setelah terjun ke rumah-rumah penduduk. Kepala desa maupun puskesmas di sana tidak mempunyai data pasti berapa jumlah masyarakat yang menderita ganggan jiwa psikosis. “Sebagian warga malu mengatakan jika ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Tak jarang mereka marah kalau keluarganya dikatakan gila. Setelah dijelaskan apa tanda-tanda ganggun jiwa dan efek gangguan jiwa, akhirya mereka mau menerima saya,” tutur Komang.
Kobra Sembuh tanpa Obat
SALAH seorang penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, Kobra, menceritakan awal mula ia mengalami gangguan jiwa. Kobra terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ibunya mendidiknya sangat keras. Kobra kecil sering dipukul dengan kayu sampai ia duduk di kelas II SMP. Namun, ia mengaku saat itu ia tidak menaruh dendam pada ibunya. Ia menyadari, dirinya nakal maka layak untuk dipukul. Kobra juga sering dicaci maki ibunya. “Tiada hari tanpa pukulan dan cacian,” ungkap lelaki yang kini menguasai empat bahasa asing, Jepang, Prancis, Inggris, dan Belanda ini.
Tamat SMA dia kuliah di Unhi jurusan Tradisional Healing. Saat itu pikiran buruk terus menghantuinya. Ia mencoba berkenalan dengan dunia spiritual, berburu orang spiritual, dan masuk dalam kelompok meditasi. Namun, semua usahanya sia-sia. Ia tetap mengalami halusinasi.
Setelah cukup lama terjadi debat dalam dirinya, mulai muncul perintah untuk menyakiti orang lain. Sejak itu mulai muncul rasa dendam pada ibunya. Trauma itu menyuruh Kobra melakukan kekerasan yakni untuk membunuh ibunya. Tetapi, ia tidak melakukannya karena mencoba untuk berjuang melawan suatu kekuatan yang membuatnya ingin melakukan kekerasan itu. Kobra berusaha berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu ia sedang mengalami gangguan jiwa. Kobra tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Walaupun Kobra bekerja, uang hasil jerih payahnya tidak cukup untuk membeli obat karena harganya mahal.
Ia menuturkan, proses untuk dapat normal kembali dari ganguan jiwa sangat panjang dan melelahkan. Sekitar dua tahun ia berjuang dengan meditasi pagi dan malam. Ia datang ke pantai memuntahkan semua masalahnya lewat teriakan-teriakan.
Akhirnya Kobra menyadari, trauma masa kecil adalah penyebab gangguan jiwanya. Kesadaran itu ia dapat setelah mengikuti Program Memahami Jati Diri yang digelar SIMH. Ketika itu Kobra dibawa ke masa lalunya. Ia melihat kejadian masa kecilnya membuat ia takut menghadapi hidup. Bahkan saat itu Kobra berucap, ibunya adalah setan, yang selalu merasuki dirinya. Setelah program itu, Kobra tetap berjuang untuk mengeluarkan traumanya dengan meditasi spirit arahan SIMH. Kobra akhirnya berhasil mengeluarkan masalahnya dengan jalan mengobrol sesama teman. Kobra adalah salah seorang penderita gangguan jiwa yang berhasil berjuang sendiri untuk sembuh tanpa obat.
Trauma tak Mudah Hilang
Agus Suandana, siswa SMA di Denpasar menuturkan, sejak kecil ketika ayahnya masih hidup, ia selalu dipukul, ditendang, bahkan sampai matanya merah. Kejadian itu terus membayanginya sampai ia remaja dan membuat ia ingin terus menyakiti adiknya, walaupun ia sadar, tindakan itu salah. Ia mengaku emosinya labil dan selalu ingin marah dan melampiaskannya pada adiknya.
Menurut Dokter Cok Bagus, trauma tidak dapat hilang begitu saja. Trauma tetap tersimpan rapi dalam memori karena saat kita mengalami trauma semua panca indra bekerja. “Apa pun yang dialami akan terekam dalam memori kita. Kemudian pada saatnya nanti secara tiba-tiba langsung menjadi referensi untuk melakukan tindakan saat situasi mendukung dan membuatnya melakukan tindakan yang sma dengan yang ada dalam memorinya. Bisa dalam tindakan marah atau jengkel, bahkan menangis,” ujarnya.
“Penting, bagaimana Anda dibesarkan orangtua. Jika sejak dalam kandungan cukup diberi kasih sayang, itu akan menjadi modal Anda menghadapi trauma. Bukan berarti tiap orang yang mengalami trauma akan mengalami gangguan jiwa. Tergantung mereka apakah mau belajar mengatasinya atau tidak,” paparnya.
Wayan Rusmi, menanyakan bagaimana cara orangtua menghadapi anak remaja yang menarik diri dari pergaulan dan sulit diajak berkomunikasi. Apakah itu termasuk gangguan jiwa?
Menurut Dokter Cok Bagus gejala gangguan jiwa biasanya sering terjadi pada saat masa akhir remaja. Jika mereka tidak dapat belajar mengenal dirinya dan belajar dari pengalaman mereka dapat jatuh dalam gangguan jiwa. Apalagi lingkungan keluarga dan sosial tidak mendukung dengan sering melakukan kekerasan. Orangtua sering mengeluh tentang anak remajanya yang sulit diatur dan suka melawan.
“Remaja merasa dirinya orang dewasa dan di sisi lain mereka tetap membutuhkan bimbingan orangtuanya. Di sinilah orangtua harus dapat memosisikan diri sebagai teman bagi remaja,” ujarnya.
Hermani, guru TK di Denpasar mengatakan anaknya yang duduk ke kelas II SD, sulit bergaul. Dari pengakuan gurunya, anaknya sering berdiri di belakang kelas saat guru menerangkan pelajaran. Anak itu kadang bicara dan asyik sendiri. Waktu istirahat, saat teman-temannya bermain, ia diam sendiri dalam kelas.
Menanggapi itu, Dokter Cokorda Bagus mengatakan, ketika orang sudah asyik bermain dalam dunianya sendiri sering sudah divonis gangguan jiwa. Kalau gangguan jiwa harus sudah ada halusinasi dan waham. Kalau itu tidak ada, kasus ini temasuk gangguan perkembangan. Ini masih dapat diperbaiki. Mungkin di rumah sering menghabiskan waktunya menonton TV. Ketika di rumah ia sering bercakap-cakap dengan televisi.
Prof. Suryani menambahkan guru TK dan SD hendaknya dapat menemukan ganguan jiwa ini lebih awal. Ketika melihat anak bicara sendiri, guru harus waspada. Orangtuanya sebaiknya diberi tahu, atau konsultasikan ke psikiater sehingga anak tidak sampai mengalami gangguan jiwa. Orangtua juga perlu introspeksi diri apakah hal itu tidak terjadi akibat tindakan dirinya sebelum menyalahkan orang lain.
“Boleh memarahi anak, namun, setelah itu ajak anak itu bicara. Jelaskan kepada anak mengapa ia dimarahi, sehingga trauma itu tidak disimpan sampai tidur. Kalau sampai terbawa tidur dan bersifat komulatif, dan dia tidak mampu mengatasinya, dapat mengakibatkan gangguan dalam dirinya,” ujar Prof. Suryani. –ast.
Permalink Leave your comment




Perceraian berhubungan dengan konsekuensi psikologi, emosional, ekonomi dan pisik. Anak-anak yang tinggal di lingkungan seperti itu benar-benar tidak belajar banyak mengenai harmoni dan apa yang dipertaruhkan untuk kebahagian dan hubungan yang sukses.
B.D. Schmitt, M.D. (1999) (dalam Nilakusmawati, 2008), mengungkapkan dampak perceraian terhadap anak berbeda menurut usia.
a. Anak Pra Sekolah “Preschool Child” ( 3 - 6 Tahun)
Anak pra sekolah cenderung memiliki keterbatasan dan kesalahan persepsi mengenai perceraian. Mereka memiliki sifat ego yang tinggi dan kaku mengenai hal benar dan salah. Karenanya ketika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, mereka biasanya menyalahkan diri mereka sendiri berdasarkan dugaan kelakuan yang tidak baik yang telah mereka lakukan. Anak usia ini seringkali menafsirkan kehadiran orang tua sebagai suatu penolakan personal, atau kekhawatiran bahwa mereka juga akan menjadi terbuang/terkorbankan. Pada tahap masa kecil ini juga sifat terbentuk oleh fantasi. Anak mungkin mengingkari kenyataan dan sangat mengharapkan orang tuanya bersatu kembali. Disamping itu, mereka pada umumnya kembali berkelakuan seperti bayi; menghisap jempol, ngompol, pemarah, melengket dgn selimut atau mainan favoritnya. Mereka secara umum menjadi takut terhadap sisi gelap dari sesuatu atau perpisahan dari sesuatu hal.
b. Usia Sekolah “The Older School - Aged” ( 6-9 Tahun)
Tingkah laku yang berhubungan dengan perceraian pada anak usia sekolah ( 6 - 9 tahun) , pada saat anak mencapai usia sekolah, mereka tidak lagi mengatasi dengan mengingkari realitas dari perceraian. Mereka sepenuhnya sadar menerima sakit dan kesedihan, benar-benar merindukan kerukunan kembali. Mereka cenderung memandang hidup dalam sisi hitam dan putih, dan cenderung menyalahkan salah satu dari orang tua sebagai penyebab perpisahan. Anak laki-laki khususnya berdukacita atas kehilangan ayahnya dan seringkali melimpahkan kemarahan pada ibunya.
c. Usia Sekolah (9 - 12 Tahun).
Pada anak usia sekolah (9 - 12 tahun), mereka biasanya bereaksi terhadap perceraian dengan kemarahan. Anak-anak kemungkinan menjadi sangat kritikal dan benci terhadap keputusan cerai orang tua mereka. Seperti anak usia sekolah, mereka mungkin selanjutnya menyalahkan kekakuan/kekerasan salah satu atau kedua orang tuanya, dan memperlihatkan rasa tidak suka mereka terhadap pasangan baru orang tua mereka. Mereka juga mungkin benci pada pengurus rumah tangga atau pengurus anak. Anak-anak pada usia tahap perkembangan tidak suka lebih menonjol diantara teman sebaya mereka dan umumnya merasa malu atau merasa telah tertimpa bencana karena perceraian.
Mereka cenderung mempunyai perhatian yang sangat praktis mengenai kehidupan keluarga hari demi hari, mereka khawatir mengenai keuangan keluarga dan apakah mereka merupakan sebuah aliran atas pendapatan orang tua mereka. Mereka juga memperoleh kemampuan untuk menegaskan dan khawatir mengenai bagaimana orang tua mereka menanggulanginya. Mereka mungkin menutupi perasaan mereka yang sebenarnya dengan menyibukkan diri dengan berbagai atau begitu banyak aktivitas.
Studi yang dilakukan oleh Judith S. Wallerstein dan Joan B. Kelly (1980) menyatakan bahwa 90% anak-anak yang kedua orang tua bercerai mengalami goncangan emosional ketika perceraian terjadi, rasa sedih yang sangat dalam dan perasaan khawatir. 50 % merasa ditolak dan terbuang, dan memang hal itu ditunjukkan oleh hampir setengah dari ayah mereka yang tidak pernah mengunjungi anak-anaknya selama tiga tahun setelah perceraian. Sepertiga dari anak laki-laki dan perempuan merasa takut terbuang oleh orang tua mereka dan 66% mengalami tahun-tahun tanpa orang tua. Sangat signifikan bahwa 37% anak-anak merasa lebih tidak bahagia setelah 5 tahun terjadi perceraian dari pada anak-anak yang orang tuanya telah mengalami perceraian selama 18 bulan. Dengan kata lain, waktu tidak dapat menyembuhkan luka mereka, sehingga orang tua cenderung menghindari perceraian sebagai pilihan tindak lanjut mengatasi perselingkuhan mengingat dampaknya terhadap masa depan anak.
Kita perlu menjadari bahwa jarang sekali pasangan yang hendak bercerai itu, memiliki kehidupan yang tetap mesra, harmonis, penuh kasih. Sebaliknya pada berbulan-bulan sebelum hari perceraian tiba, pada umumnya kehidupan pasangan nikah berubah ada yang hingga 180 derajat. Mereka tampak semakin tegang, diwarnai dengan berbagai konflik, percekcokan, ketidak harmonisan, perdebatan, bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan kata-kata mesra berubah menjadi saling menghina bahkan juga saling merendahkan. Peristiwa sebelum perceraian sesunggunya sudah akan mengakibatkan berbagai masalah buruk bagi anak-anak. Untuk itu mari kita melihat beberapa pengaruh buruk bagi anak, saat menjelang perceraian dan sesudah perceraian yang diambail dari sumber Dept of Family Relationship and human Development the Ohio State University. (Sarjono, 2009)
Pengaruh buruk pada masa tegang sebelum perceraian tiba terhadap gangguan jiwa pada anak
1. Confliked Loyalty.
Membenci dan mengasihi Salah satu orang Tua.
Bila orang tua mulai bertengkar, anak biasanya akan membenci salah satu dari orang tua mereka: sebagai contoh anak yang lebih mencintai ibunya karena melihat yang menjadi korban adalah ibunya, selanjutnya dia akan membenci ayahnya. Atau sebaliknya ia mencintai ayahnya dan membenci ibunya. Dan dalam situasi seperti ini pihak siapa yang lebih pandai memprofokasi anak dialah yang akan dicintai sang anak, dan pasanganya yang harus menderita kebencian dari sang anak, tanpa mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya.
2. Loneliness.
Dalam situasi yang penuh ketegangan itu, kadang-kadang anak sulit mengambil keputusan untuk memihak atau memilih untuk membela salah satu antara papa atau mama. Dan situasi seperti ini menjadikan dia korban yang merasa terhimpit diantara dua pilihan, peristiwa seperti ini membuat anak menjadi merasa kesepihan, dan merasa ditinggalkan.
3. Anxiety and feeling of insecurity. Merasa Tidak Aman/ Cemas.
Anak yang melihat konflik terjadi diantara orang tuanya, mereka mulai menderita ketakutan dan kecemasan yang amat tinggi. Apalagi saat mereka mendengar kata-kata cerai keluar dari bibir salah satu orang tuanya, ketakutan yang mencekam menghinggapi anak-anak ini. Menghadapi hal ini setiap anak menjadi sangat takut atau cemas. Perlu kita sadari bahwa setiap anak itu didalam lubuk hatinya takut berpisah dari orang tuanya, dan mereka juga sangat takut papa dan mamanya berpisah. Karena hal ini akan menimbulkan kecemasan, dan ketakutan yang mendalam didalam kehidupan mereka.
4. Feeling of rejection.
Anak merasa ditolak. Pada saat orang tua bersitegang dan berkelahi anak-anak akan diperhadapan pada satu pilihan, memihak atau memilih siapa yang di bela, siapa yang diikuti, dan dihormati papa atau mama setelah perceraian terjadi, dan situasi sulit sepeti ini membuat mereka merasa serba salah dan timbul perasan ditolak baik oleh salah satu maupun kadang-kadang oleh kedua orang tuanya.
Pengaruh buruk Sesudah Perceraian Terjadi.
Selanjutnya dalam kehidupan rumah tangga yang dipenuhi pertengkaran dan perkelahian, serta ketidak harmonisan dan perceraian, cepat atau lambat akan sangat mempengaruhi anak-anak mereka. Beberapa model anak yang biasanya akan muncul akibat korban perceraian orang tua, yaitu:
1. Anger, and feeling of rejection.
Sebagian anak korban perceraian memiliki perilaku nakal, tak terkendali, serta menjadi pemberontak dan menimbulkan berbagai masalah diluar rumah. Hal seperti ini bisa terjadi antara lain disebabkan oleh:
a. Adanya pelampiasan dari rasa frustrasi, kemarahan dan perasaan ditolak yang dialaminya.
b. Terlalu seringnya orang tua mempraktekan perkelaian, pertengkaran dan anak mengadopsi prilaku buruk ini dalam melampiaskan rasa frustrasinya.
c. Penyebab berikutnya adalah Anak yang telah kehilangan rasa Aman, rasa tentram dan penuh kedamaian yang selama ini dia alami. Kini mereka menjadi kecewa dan marah kepada orang tua yang berubah telah menciptakan rasa ketiadak amanan dalam diirinya.
d. Bagi anak yang harus menderita dan tinggal dengan salah satu orang tua akibat perceraian mereka juga telah kehilangan sosok ayah dan bisa juga sosok ibu yang seharusnya penuh kasih. Dan disinilah berbagai letupan ketidak nyamanan dan ketidak amanan muncul dalam bentuk berbagai kenakalan, dan ketidak patuhan, serta muncul rasa tidak begitu hormat kepada kepada salah satu orang tua yaitu sang ibu atau sang ayah.
e. Anak kehilangan jatidirinya. Status sebagai anak cerai yang harus disandang oleh anak-anak memberikan suatu perasaan bahwa dia orang yang berbeda dari anak-anak lain dan dari sinilah perasaan ditolak semakin berkembang..
2. Pervasive sense of loss and emptiness.
Model anak yang kedua adalah “Anak yang depresi, menutup diri dan merasa diri hampa dan tak bermakna“. Sebagian besar anak-anak takut bila orang tua mereka bercerai. Perceraian orang tua bisa menggoncangkan jiwa anak-anak. Salah satu penyebab timbulnya rasa hampa dan takutnya adalah: Mereka merasa takut masa depannya yang kini nyaman dan terjamin akan menjadi hancur berantakan. Dan dari sinilah rasa frustari dan depresi itu timbul. Mereka merasakan masa depannya akan suram dan hidup begitu hampa dan tak bermakna. Maka sebagai akibatnya ada sebagian dari mereka hidup hanya untuk menuruti kehendak hatinya tanpa mengindahkan norma dan kaidah -norma di tengah masyarakat.
3. Model ketiga, Anak Menjadi Penyelamat kuarga atau menjadi semakin baik.
Hal ini biasanya dilakukan, karena anak sangat mengasihi orang tuanya dan biasanya dilakukan oleh anak yang sudah agak dewasa. Sebagai anak ia mencoba selalu menutupi kejelekan sifat kedua orang tuanya. Bahkan ada diantara mereka yang berusaha untuk mendamaikan orang tuanya.
DAFTAR RUJUKAN
Nilakusmawati, Desak Putu Eka, dkk. 2008. Perselingkuhan dan Perceraian (Suatu Kajian Persepsi Wanita)– Adultery and Divorce (Study of Woman Perception). (Online). (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/selingkung%20nila%20matematika.pdf, diakses 18 November 2009)
Sarjono, Supriyono. 2009. The Dissolutiion Of Marriage - Pengaruh Buruk Dari Perceraian. (Online),(http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&id =651 :the-dissolutiion-of-marriage-pengaruh-buruk-dari-perceraian&catid=43:rumah tangga & Itemid =63, diakses 18 November 2009)
Wallerstein, Judith S. dan Joan B. Kelly, 1980. Surviving the
Breakup. Basic Books. New York .
Nopember 19th, 2009 in psikologi




Trauma Penyebab Gangguan Jiwa
SEBANYAK 7000 orang di Bali diperkirakan mengalami gangguan jiwa berat yang tidak tertangani dari hasil survei Layanan Hidup Bahagia (LHB) dibawah koordinasi Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Gejala-gejala seperti menarik diri dari pergaulan, lebih sering berada di kamar, bengong, berbaring atau melamun, emosinya tumpul, mukanya datar tidak berekpresi baik saat sedih ataupun tertawa hingga mengamuk merupakan bentuk yang banyak dijumpai.
Menurut Prof. Dr. dr. L.K. Suryani, Sp.KJ. (K)., Ketua Suryani Institue for Mental Health, banyak dari masyarakat menganggap gangguan jiwa sebagai kutukan Tuhan dan tidak kena dapat disembuhkan. “Siapapun dapat terkena ganguan jiwa, baik itu orang kaya, atau orang miskin, pejabat atau masyarakat biasa,” ujarnya dalam seminar “Gangguan Skizofrenia”, Sabtu (14/2) di Wantilan DPRD Bali.

Ia mengatakan tak jarang penderita gangguan jiwa harus dirantai, dikurung atau dikucilkan. Namun, pada kenyataannya, kata Ahli Kejiwaan FK. Unud ini, banyak dari mereka berhasil untuk bangkit dan mampu merasakan indahnya hidup jika ditangani dengan baik.

Menurut Koordinator Wilayah LHB dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ skizofrenia atau lebih dikenal gangguan jiwa mulai muncul pada akhir masa remaja sampai dewasa muda.
Ia menyebutkan Satu diantara 100 orang menderita gangguan jiwa. Ada 3 hal berat dalam gangguan jiwa yakni fungsi pola berpikir terganggu, fungsi bahasa dan komunikasi terganggu, serta terganggunya fungsi dalam prilaku. “Tak jarang kita jumpai ketika diajak mengobrol mereka tidak menyambung, atau berprilaku aneh, bahkan tidak menggunakan pakaian,” jelasnya.

Ia menyebutkan ada dua gejalanya yakni positif dan negatif. Pada gejala positif gangguan ini tidak terjadi seketika. Ada proses yang mendahuluinya. Gejala ini berlangsung sekitar satu bulan. Ciri pertama seperti mendengar suara-suara atau halusinasi. Ciri kedua, adanya waham yakni suatu keyakinan salah yang terus dipertahankan meskipun secara logika, maupun nalar tidak sesuai. “Misalnya dia mengaku yakin sebagai keluarganya Presiden Sukarno atau mereka merasa sebagai utusan Tuhan. Mereka berpakaian seperti nabi. Padahal, sehari-hari sembahyang pun tidak pernah,” papar Dokter Spesialis Kejiwaan FK Unud ini.

Sedangkan gejala negatif seperti penarikan diri, tidak mau bergaul, atau tidak mau sekolah. Ia mengatakan Aada kesulitan bagi mereka untuk merasakan kesenangan seperti yang tadinya bermain sepak bola, menyanyi, tapi kini mulai merasakan tidak nyaman. “Mereka mulai tidak mandi, dan mengalami gangguan tidur. Sering bermimpi buruk dan mengerikan. Bahkan tidak tidur lebih dari 7 hari, tidak mampu mengontrol dirinya, dan mulai tidak menggunakan pakaian,” ujarnya.

Penyebab gangguan jiwa ini tidak ada yang pasti. Teori kedokteran mengungkapkan ada yang melihat dari sudut biologis karena gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya. Penyebab lain dari sudut piskologis. Bagaimana perkembangannya sejak mereka dilahirkan sampai mereka dibesarkan saat ini. Tak jarang, cara mendidik orangtua sangat besar pengaruhnya sampai terjadi gangguan jiwa.

Penyebab lain adalah trauma. Ada trauma yang membuat mereka melihat kejadian itu sangat mengerikan sehingga mereka tidak mampu bereaksi atau merespon atau beradaptasi sampai normal kembali.
Ia menilai masyarakat Bali banyak mengalami trauma luar biasa sejak pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Banyak dari mereka yang masih hidup sampai saat ini mengalami trauma. Bahkan, tak jarang mereka menularkan trauma itu kepada anak dan cucu mereka. Faktor lain karena stres dan psikososial, karena putus cinta, atau memiliki utang akhirnya membuat mereka jatuh dalam gangguan jiwa.

Menurut Prof. Suryani kalau kita berpandangan gangguan jiwa disebabkan ini faktor keturunan atau genetik mereka tidak akan pernah punya harapan sembuh. Namun, kita jika mampu berpikir, gangguan jiwa terjadi karena ada faktor trauma masa lampau apakah itu saat mereka dalam kandungan, dilahirkan, waktu dibesarkan, dewasa, trauma politik, lingkungan, mereka ini dapat disembuhkan.

Kasus bunuh diri di Bali sangat tinggi. 48% kasus disebabkan ganguan jiwa berat atau depresi. Komang Adi, S.E., relawan LHB melakukan penelitian di Kabupaten Karangasem yang merupakan pilot project LHB. “Lebih dari 1000 orang menderita ganguan jiwa berat. “Mereka ini tidak sekadar tidak mau makan, tidak mau minum, hanya merenung saja, namun, mereka dipasung, dibiarkan tidur di tanah dekat kandang babi, tidak ada yang mengurus. Mereka dibiarkan begitu saja tanpa berpikir mereka juga manusia,” ungkap Komang.

Data ini pun didapatkan Komang, setelah terjun langsung ke rumah-rumah penduduk. Kepala desa maupun Puskesmas di sana tidak mempunyai data pasti berapa jumlah masyarakat yang menderita ganggan jiwa psikosis. Banyak kejadian unik dilukiskan Komang saat ia melakukan riset di lapangan. “Masyarakat malu mengatakan jika ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Bahkan tak jarang dari mereka marah kalau keluarganya dikatakan gila. Setelah dijelaskan apa tanda-tanda ganggun jiwa dan efek dari gangguan jiwa ini, akhirya mereka mau menerima saya,” tutur Komang.

Salah satu penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, Kobra menceritakan awal mula ia mengalami gangguan jiwa. Kobra terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ibunya mendidiknya sangat keras. Kobra kecil sering dipukul dengan kayu sampai ia duduk di kelas II SMP. Namun, ia mengaku saat itu ia tidak menaruh dendam pada ibunya. Ia berpikir, bahwa ia nakal memang layak untuk dipukul. Selain dipukul dengan kayu, Kobra juga selalu dicaci maki oleh ibunya. “Setiap Ibu marah dia selalu mencaci dengan kata-kata kotor dan memukul saya dengan kayu. Tiada hari tanpa pukulan dan cacian,” tutur lelaki yang kini menguasai 4 bahasa asing , Jepang, Perancis, Inggris, dan Belanda ini.

Sampai tamat SMA muncul debat dalam dirinya. Tamat SMA dia mengambil kuliah di Unhi jurusan Tradisional Healing. Saat itu pikiran buruk terus menghantuinya. Ia mencoba berkenalan dengan dunia spiritual, berburu orang spiritual, dan masuk dalam kelompok meditasi. Namun, semua usahanya sia-sia. Ia tetap mengalami halusinasi. Setelah cukup lama terjadi debat dalam dirinya, mulai muncul perintah untuk menyakiti orang lain.

Sejak itu mulai muncul rasa dendam pada ibunya. Trauma itu menyuruh Kobra melakukan kekerasan yakni untuk membunuh ibunya. Untung saja, Kobra tidak melakukan itu, karena ia mencoba untuk berjuang melawan suatu kekuatan yang membuatnya ingin melakukan kekerasan itu. Kobra berusaha berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu ia sedang mengalami gangguan jiwa. Kobra tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Walaupun Kobra bekerja, uang hasil jerih payahnya bekerja tidak cukup untuk membeli obat karena harga mahal.

Ia mengaku untuk dapat normal dari ganguan jiwa proses sangat panjang dan melelahkan. Sekitar dua tahun ia berjuang dengan meditasi pagi dan malam. Ia datang ke pantai meneriakkan semua masalahnya. Banyak orang bertutur padanya “Masa lalu saya juga parah, tapi saya tidak mengalami ganggun jiwa”. Mereka protes dengan Kobra. Kobra pun bertekas berjuang melawan gangguan jiwa yang menimpanya.

Kobra akhirnya menyadari, trauma masa kecil adalah penyebab gangguan jiwanya, setelah mengikuti Program Memahami Jati Diri yang digelar SIMH. Ketika itu Kobra di bawa ke masa lalunya. Ia melihat kejadian masa kecilnya membuat ia takut menghadapi hidup. Bahkan saat itu Kobra berucap, ibunya adalah setan, yang selalu merasuki dirinya. Setelah program itu, Kobra tetap berjuang untuk mengeluarkan traumanya dengan meditasi spirit arahan SIMH. Kobra akhirnya berhasil mengeluarkan masalahnya dengan mengobrol sesama teman. Kobra adalah salah satu penderita gangguan jiwa yang berhasil berjuang sendiri untuk sembuh tanpa obat. -ast




Kekerasan Pada Anak Dan Perempuan; Dampak dan Solusinya
Senin, 05/01/2009 07:53 WIB | email | print | share
Kekerasan pada anak (child abuse) dan perempuan secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Namun hemat penulis, masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental namun juga mengakibatkan gangguan social, karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik namun juga dalam hal ekonomi, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen dan lain sebagainya. Begitupun sang pelaku bukan saja dilakukan oleh oleh orang-orang terdekat dalam keluarga (KDRT/domestic violence) namun juga di lakukan oleh orang luar, dengan kata lain bukan saja kekerasan tapi sudah masuk kejahatan dan modusnyapun semakin berkembang.
Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Sebanyak 45 persen dari jumlah kasus itu, adalah anak korbannya (kompas, 14/04/2008). Dari laporan ini modus perdagangan manusia (human trafficking) saja sudah berubah. Dimana awalanya perdagangan manusia hanya dalam hal prostitusi dan buruh kerja, namun akhir-akhir ini sudah masuk ke dalam perdagangan organ tubuh, dan penulis yakin bahwa modus seperti ini bukan saja terjadi pada anak namum juga pada perempuan.
Faktor Penyebab dan Dampaknya
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, secara keumuman disebabkan oleh suatu teori yang di kenal behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. Stres yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah hubungan social baik keluarga atau komunitas, penyimpangan prilaku social (masalah psikososial). Lemahnya kontrol social primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan social tertentu. Namun bagi penulis penyebab utama terjadinya masalah ini adalah hilangnya nilai Agama (terutama Islam), karena tentunya hanya dengan agama yang bisa mengatur masalah social berbasis kesadaran individu.
Diantara dampak kekerasan pada anak dan perempuan adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma sehingga seperti halnya perempauan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak dan perempuan juga dapat menghancurkan tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human trafficking.
Solusi Mendesak
Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dan perempuan dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat (terutama Islam) akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi factor terjadinya kekerasan. Terlebih Islam telah mengajarkan aturan hidup dalam berumah tangga, baik sikap kepada Istri atau kepada anak dan juga mengajarkan interaksi sosial yang baik. Islam sangat mengutuk segala macam bentuk kekerasan, Islam memperbolehkan bercerai jika ada kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana hadis dari Aisyah RA berkata, bahwasanya Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais dipukul suaminya sampai memar. Keesokan paginya Habibah melaporkan tindakan kekerasan suaminya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit. Sabdanya, ''Ambillah sebagian hartanya (maharnya) dan ceraikanlah ia!'' Tsabit bertanya, ''Apakah hal itu sebagai penyelesaiannya ya Rasulullah?'' Jawab Rasulullah, ''Ya betul.'' Tsabit berkata lagi, ''Sesungguhnya saya sudah memberinya dua kali lipat, dan keduanya berada di tangannya.'' Kata Rasulullah lagi, ''Ambillah kedua bagian tersebut, dan ceraikan ia!'' Lalu Tsabit pun melaksanakan perintah tersebut. (HR. Imam Abu Dawud).
Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku.


Pengalaman Traumatik Penyebab Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi
Written by Administrator
Wednesday, 26 May 2010 03:06
Iyus Yosep, Ni Luh Nyoman Sri Puspowati, Aat Sriati
Bagian Keperawatan Jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung


Salah satu faktor penyebab yang menjadi stresor seseorang mengalami gangguan jiwa adalah pengalaman traumatik. Pengalaman traumatik tersebut sulit dilupakan dan memiliki efek psikologis dalam waktu yang panjang. Apabila seseorang tidak mampu beradaptasi dalam menanggulangi stresor, maka akan timbul keluhan-keluhan dalam aspek kejiwaan, berupa gangguan jiwa ringan hingga berat. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang paling banyak dan terus meningkat adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman traumatik pasien skizofrenia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cimahi, subjek diperoleh berdasarkan purposive sampling sebanyak tujuh orang, pada bulan November 2008. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam (in depth interview). Hasil penelitian terhadap pengalaman traumatik tujuh pasien skizofrenia menunjukkan adanya lima tema yang muncul yaitu: cita-cita/keinginan tak tercapai/kegagalan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, orangtua galak/pola asuh otoriter, dan mendapat tindakan kekerasan. Terungkapnya pengalaman tersebut, memberi informasi bagi tim kesehatan dalam mencegah dan mengatasi meningkatnya pasien skizofrenia, khususnya yang diakibatkan oleh pengalaman traumatik yang dapat menjadi pencetus, sehingga angka kejadian skizofrenia dapat ditekan seminimal mungkin. [MKB. 2009;41(4):194-200].

Kata kunci: Pengalaman traumatik, skizofrenia, stresor





Definisi | Pengertian | Arti dan Istilah
Kumpulan Definisi, Pengertian, Arti, Istilah, Definisi Menurut Para Ahli, Pengertian Menurut Pakar, Yang bersumber dari Buku, Majalah, Koran dan Internet.
• Home
• Pengertian Agama
• Pengertian Belajar
• Pengertian Data
• Pengertian Kurikulum
• Pengertian Ilmu
• Pengertian Pendidikan
Browse » Home » Definisi Ilusi » Definisi Halusinasi » Definisi Halusinasi dan Ilusi
Friday, January 8, 2010
Definisi Halusinasi dan Ilusi
Definisi Halusinasi dan Ilusi

Menurut Prof. Willy F. Maramis DSJ halusinasi adalah suatu persepsi sensori yang salah tanpa rangsangan dari luar yang sebenarnya, mungkin karena gangguan emosi atau stress (reaksi histerik, deprivasi sensorik), psikosa fungsional atau keracunan (obat, alkohol, halusinogen) dan dapat terjadi pada setiap indra.

Tapi yang sering terjadi adalah halusinasi auditorik (pendengaran) dan halusinasi Visual (penglihatan), halusinasi auditorik lebih sering terjadi karena adanya gangguan jiwa, sedangkan halusinasi visual biasanya terjadi karena pengaruh zat halusinogen seperti alkohol, narkoba dan perubahan molekuler neuron otak.

Ilusi adalah sebuah kondisi mempersepsikan berbeda terhadap sebuah obyek, sebagai contoh mengapa ketika anda melihat sebuah permainan sulap sebenarnya anda sedang mengalami ilusi, pesulap melakukan tehnik membuat sebuah obyek dipersepsi berbeda oleh seseorang. Dedy Corbuizer menyebut dirinya sebagai seorang Mentalis Illusionis, David Coperfield menganggap dirinya sebagai seorang Ilusionis sejati bukan seorang Halusionis.

Ada yang beranggapan bahwa ilusi terjadi karena ada rangsang sedangkan halusinasi terjadi tanpa ada rangsang, dengan pendapat ini tentu untuk orang awam pengertiannya menjadi sulit dicerna meskipun sebenarnya maksud atau pengertiannnya benar, untuk menyederhanakan arti maka halusinasi adalah merasa melihat obyek tanpa benar - benar ada obyek. Contoh : Seorang klien berusia 35 tahun bernama Tn M merasa mendengar bisikan - bisikan yang mengatakan "kamu jelek, kamu jahat, kamu gak bisa apa - apa", ketika di evaluasi di lingkungan tidak ada saksi yang mendukung bahwa mereka mendengar suara seperti yang didengar Tn. M.

Sedangkan Ilusi terjadi ketika anda melihat sebuah sendok dibengkokkan, sendok tersebut tidak benar - benar bengkok tetapi oleh sang magician kita di ilusikan sehingga melihat sendok tersebut menjadi bengkok. Tenik ilusi ini yang membuat segala hal mustahil menjadi masuk akal. Bagaimana dengan orang yang melihat hantu? ada dua versi yang muncul, dia memiliki indra ke enam atau dia berhalusinasi. Untuk mengukurnya maka jika dia merasa memiliki indra ke enam maka orang dengan kemampuan indra ke enam pula dapat melihat sama persis dengan orang yang mengatakan melihat hantu, dikatakan halusinasi jika hanya dia yang melihat hantu dan orang yang memiliki indra keenam tidak menemukan dan tidak melihatapa - apa.

Halusinasi dan ilusi maupun melihat hantu bisa diukur dan dievaluasi, sehingga akan sangat mudah membedakan mana ilusi, mana halusinasi, mana yang memiliki indra ke enam. Dengan mengetahui perbedaan 3 fenomena tersebut maka kita lebih mudah mendeteksi apakah seseorang tersebut mengalami halusinasi atau memang dia seorang paranormal. Seorang paranormal yang merasa melihat hantu akan didukung oleh paranormal lain yang juga melihat hantu, sedangkan seorang penderita halusinasi hanya dia yang melihat hantu sedangkan paranormal atau orang dengan indra ke enam tidak merasakan dan melihat apa - apa. Jika menderita halusinasi maka harus diterapi seperti penderita halusinasilainnya.



Halusinasi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Halusinasi adalah terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata terhadap indera. Kualitas dari persepsi itu dirasakan oleh penderita sangat jelas, substansial dan berasal dari luar ruang nyatanya. Definisi ini dapat membedakan halusinasi dengan mimpi, berkhayal, ilusi dan pseudohalusinasi (tidak sama dengan persepsi sesungguhnya, namun tidak dalam keadaan terkendali). Contoh dari fenomena ini adalah dimana seseorang mengalami gangguan penglihatan, dimana ia merasa melihat suatu objek, namun indera penglihatan orang lain tidak dapat menangkap objek yang sama.
Halusinasi juga harus dibedakan dengan delusi pada persepsi, dimana indera menangkap rangsang nyata, namun persepsi nyata yang diterimanya itu diberikan makna yang dan berbeda (bizzare). Sehingga orang yang mengalami delusi lebih percaya kepada hal-hal yang atau tidak masuk logika.
Halusinasi dapat dibagi berdasarkan indera yang bereaksi saat persepsi ini terbentuk, yaitu
• Halusinasi visual
• Halusinasi auditori
• Halusinasi olfaktori
• Halusinasi gustatori
• Halusinasi taktil

[sunting] Pencetus terjadinya halusinasi
1. Sakit dengan panas tinggi sehingga mengganggu keseimbangan tubuh.
2. Gangguan jiwa Skizofrenia
3. Pengkonsumsian narkoba atau narkotika tertentu seperti : ganja, morphin, kokain, dan ltd
4. Mengkonsumsi alkohol berkadar diatas 35% : seperti vodka, gin diatas batas kewajaran
5. Trauma yang berlebihan.

Artikel bertopik kedokteran atau medis ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Halusinasi"
Kategori: Gejala penyakit
Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik medis
Peralatan pribadi
• Fitur baru
• Masuk log / buat akun
Ruang nama
• Halaman
• Pembicaraan
Varian
Tampilan
• Baca
• Sunting
• Versi terdahulu
Tindakan
• ↑
Cari


Navigasi
• Halaman Utama
• Perubahan terbaru
• Peristiwa terkini
• Halaman sembarang
Komunitas
• Warung Kopi
• Portal komunitas
• Bantuan
Wikipedia
• Tentang Wikipedia
• Pancapilar
• Kebijakan
• Menyumbang
Cetak/ekspor
• Buat buku
• Unduh sebagai PDF
• Versi cetak
Kotak peralatan
• Pranala balik
• Perubahan terkait
• Halaman istimewa
• Pranala permanen
• Kutip halaman ini
Bahasa lain
• العربية
• مصرى
• Беларуская
• Беларуская (тарашкевіца)
• Български
• Català
• Česky
• Dansk
• Deutsch
• English
• Esperanto
• Español
• Eesti
• Euskara
• فارسی
• Suomi
• Français
• Gaeilge
• עברית
• Magyar
• Italiano
• 日本語
• ქართული
• ಕನ್ನಡ
• Kurdî
• Lëtzebuergesch
• Lietuvių
• Македонски
• मराठी
• Bahasa Melayu
• Nederlands
• ‪Norsk (bokmål)‬
• Polski
• Português
• Română
• Русский
• Simple English
• Slovenčina
• Slovenščina
• Српски / Srpski
• Svenska
• తెలుగు
• Tagalog
• Türkçe
• Українська
• اردو
• 中文
• Halaman ini terakhir diubah pada 03:23, 1 November 2010.


Pengertian
Halusinasi adalah tanggapan ( persepsi ) pancaindera tanpa rangsangan dari luar(eksternal )

Jenis Halusinasi
Halusinasi Pendengaran
Halusinasi Penglihatan
Halusinasi Penciuman
Halusinasi Pengecapan
Halusinasi Perabaan

Tanda & Gejala
Menarik diri, menghindari orang lain
Mudah tersinggung
Tersenyum, berbicara sendiri
Gelisah, ketakutan, wajah tegang
Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal
Sikap curiga dan bermusuhan
Menyalahkan diri sendiri/orang lain
Dapat merusak diri, orang lain dan lingkungan
Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata
Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi
sulit membuat keputusan
Ketakutan
Muka merah kadang pucat
Tidak mau atau tidak mampu melaksanakan asuhan mandiri seperti : mandi, gosok gigi, ganti pakaian

LAPORAN PENDAHULUAN


HALUSINASI

1. Definisi
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik (Maramis, 1994).

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

Halusinasi adalah suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimuli ekstern; persepsi palsu (Lubis, 1993).

2. Rentang respon halusinasi ( berdasarkan Stuart dan Laria, 2001).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

>Pikiran logis >Distorsi pikiran >Gangguan pikir
>Persepsi akurat >Ilusi >Halusinasi
>Emosi konsisten dgn pengalaman >Reaksi emosi >> atau < >Sulit berespon
emosi
>Prilaku sesuai >Prilaku aneh/tidak biasa >Prilaku
disorganisasi
>Berhubungan sosial >Menarik diri >Isolasi sosial


3. Jenis-jenis halusinasi
Stuart dan Laria, 1998 membaginya seperti tabel berikut :
Jenis Halusinasi Prosentase Karakteristik
Pendengaran (auditorik)





Penglihatan (Visual)




Penghidu (olfactory)


Pengecapan (gustatory)

Perabaan (tactile)


Cenesthetic



Kinesthetic


70 %






20 %




Mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara 2 orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi.

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

Membaui bau-bauan tertenru seperti bau darah, urine atau feces. Umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan.

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine atau feces.

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas, Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak


4. Fase-fase halisinasi
1. Comforting, Ansietas sedang : halusinasi menyenangkan
2. Condemning, Ansietas berat : halusinasi menjadi menjijikkan
3. Controling, Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
4. Consquering, Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya

5. Pohon masalah

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

PSP : Halusinasi……

Isolasi sosial : Menarik diri

Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah




STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : 1 Jam 10.00 WIB Tgl 27-10-2003
Pertemuan 1

1. Proses keperawatan
1. Kondisi Klien
Menyendiri, bingung, lambat, kontak mata kurang, pembicaraan lambat dan diulang-ulang.
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan interaksi sosial :
3. TUK
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
• Bina hubungan saling percaya : slam terapeutik, ciptakan lingkungan terapeutik.
• Beri kesempatan klien ungkapkan perasaanya.
• Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati

1. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak ? boleh kenalan ngaak ? nama saya suster Yenny, panggil saya mbak Yenny ya !, saya Mahasiswa PSIK Unibraw Malang, saya yang akan merawat mbak selama 2 minggu ini, mulai tanggal 27 s/d 8 November 2003 “.
2. Evaluasi/ validasi
“ Bagaimana perasaan mbak sekarang ? Tidurnya bagaimana tadi malam ?”.
3. Kontrak
“ Mbak nanti kita cerita-cerita kenapa mbak sampai dibawa kesini ? bersedia khan ? nggak lama koq, kira-kira 10 menit saja, bersedia khan ?

2. Kerja
“ Mbak namanya siapa ? asalnya dari mana ? biasa dipanggil apa ? gimana perasaaanya hari ini ? apakah ada yang membuat mbak bingung ? Mbak sekarang dimana ? dirumah ada siapa saja ? anaknya dengan siapa ?

3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasan mbak sekarang setelah bercakap-cakap dengan saya ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba masih ingat nama saya ? terus coba sebutkan lagi kenapa mbak dibawa kesini ? bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Baiklah mbak karena waktu kita sudah habis kita sudahi sampai disini ya, besok kita nomong-ngomong lagi ya ?
4. Kontrak
“ Besok kita ketemu lagi disini jam 08.00 WIB kita akan nobrol tentang mengapa mbak dibawa kesini ? bersedia ? “.








STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : II Jam 08.00 WIB Tgl 28-10-2003
Pertemuan 2

Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Menyendiri, bingung, gerakan lambat, pembicaraan kurang dan diulang-ulang.
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Rencana tindakan keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
• Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, ciptakan lingkungan terapeutik.
• Beri kesempatan klien ungkapkan perasaanya
• Dengarkan ungkapan klien dengan empati

Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak ? masih ingat saya ? nama mbak Winarti khan ? sebenarnya mbak Winarti sukanya dipanggil apa sih ?”.
2. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang ?”.
3. Kontrak
“ Mbak Win, pagi ini sesuai dengan janji kita, kita akan ngobrol-ngobrol ya khan ? saya harap mbak Win nanti akan banyak bercerita kepada saya, bagaimana ? tidak lama koq, 15 menit saja ?

2. Kerja
“ Mbak Win coba sih ceritakan kenapa mbak Win bisa sampai dibawa kesini ?, mbak Win tahu tidak ini dimana ? Rumah sakit apa ?”.
“ Bagaimana perasaan mbak Win selama disini ?’.

3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang ?’.
2. Evaluasi obyektif
Coba mbak Win sebutkan lagi kenapa mbak win dibawa kesini ? ya ada lagi ?”.
3. Rencana Tindak lanjut
“ Baiklah mbak Win waktu kita sudah habis, besok kita ngobrol-ngobrol lagi tentang apa yang dialami mbak Win sampai bisa terdengar suara-suara itu !’.
4. Kontrak
“ Besok jam 08.00 WIB kita ketemu lagi ya ?, kita ngobrol dimana ? jangan lupa ya ?








STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : III Jam 08.00 WIB Tgl 29-10-2003
Pertemuan 3

1. Proses Keperawatan

1. Kondisi klien
Kontak mata baik, tertawa dan tersenyum, mengerti alur pembicaraan, mau menyapa.
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
4. Rencana tindakan keperawatan
• Lakukan kontak sering tapi singkat
• Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
• Bantu klien untuk mengenal halusinasinya
• Diskusikan dengan klien :
. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi
• Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halisinasi

2. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak Win ? bagiamana tidurnya tadi malam ?”.
2. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaanya sekarang ?”.

3. Kontrak
“ Mbak Win …..kita pagi ini ngobrol disini saja ya ?, jam 08.15 WIB s/d 09.00 WIB ya ?”.

2. Kerja
“ Mbak Win selama ini apa sih yang mbak Win rasakan, mbak dengar suara-suara ya ? suara-suara apa sih ? berapa kali suara itu muncul dalam satu hari ? kapan suara-suara itu muncul ? lalu apa yang mbak rasakan sewaktu suara-suara itu muncul ?”.
3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang setelah tadi kita berbincang-bincang ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba mbak Win sebutkan lagi suara-suara yang mbak dengar ?, jadi berapa kali ?”. Bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Iya…mbak Win sudah bagus hari ini karena sudah bisa menceritakan kepada saya, Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya ? coba nanti diingat lagi mungkin ada yang terlupa !”.
4. Kontrak
“ Nanti jam 10.00 WIB kita ketemu lagi ya ?”.







STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : IV Jam 10.00 WIB Tgl 29-10-2003
Pertemuan 4

1. Proses Keperawatan

1. Kondisi klien
Mau diajak bicara, stimulus dari perawat dulu, kontak mata baik, sering bengong
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
4. Rencana tindakan keperawatan
• Lakukan kontak sering tapi singkat
• Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
• Bantu klien untuk mengenal halusinasinya
• Diskusikan dengan klien :
. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi
• Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halisinasi

2. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat siang mbak Win kita ngomong-ngomong lagi yuk ?
b. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaanya sekarang ?”.


2. Kontrak
“ Mbak Win …..kita ngobrol disini saja ya ?, tidak lama koq 15 menit cukup, bersedia ?”.



2. Kerja
“ Mbak Win masih dengar suara-suara ya ? suara-suaranya mbak kenal nggak ? apa sih bunyinya suara-suara itu ? berapa kali suara itu muncul dalam satu hari ? kapan suara-suara itu muncul ? lalu apa yang mbak rasakan sewaktu suara-suara itu muncul ?”.
3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang setelah tadi kita berbincang-bincang ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba mbak Win sebutkan lagi suara-suara yang mbak dengar ?, Bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Iya…mbak Win sudah bagus hari ini karena sudah bisa menceritakan kepada saya, kalau bisa ingat-ingat ya suara suara itu bunyinya apa dan kapan suara suara itu muncul !, besok kita ngobrol-ngobrol lagi ya ?
4. Kontrak
“ Besok jam 10.00 WIB kita ketemu lagi ya ?” di ruang televisi ya ?”.
Kamis, 11 Desember 2008
Sejarah Kegilaan dan Konstruksi Kebenaran
Anda mungkin ingat, pada tahun 2002, sebuah film berjudul A Beautiful Mind John Nash peraih Nobel matematika yang juga penderita schizophrenia. Asal tahu saja, film itu lalu dikritik habis-habisan oleh beberapa pengamat film dan perusahaan film pesaing, gara-gara dianggap mengabaikan sisi homoseksualitas dan kecenderungan anti-Semit yang ada pada diri Nash. Sementara itu, penulis biografi Nash, Sylvia Nasar, meskipun membelanya namun ia malah menulis bahwa karya-karya tulis anti-Semit dari Nash lebih merupakan wujud dari sakit jiwanya ketimbang kefanatikannya. dinominasikan meraih piala Oscar.
Kisah dalam film tersebut adalah karya

Pernyataan para pengkritik Nash ini, bahkan juga penulis biografinya (yang tampak membelanya) adalah contoh gambaran nyata tentang citra negatif dan perlakuan yang tidak mengenakkan terhadap orang yang mengalami schizophrenia, yang malahan disebut oleh penulis biografi Nash sebagai sakit jiwa. Bukan hanya itu, perilaku homoseksual dianggap sebagai praktek yang menyimpang dan abnormal sehingga perlu dikenai sanksi sosial, atau setidaknya disembuhkan.

Nasib orang gila dalam keseharian
Dalam kehidupan sehari-hari kisah-kisah lain tentang orang-orang gila, orang yang mengalami masalah kejiwaan atau kelainan mental seperti penderita psikosis, schizophrenia, stress, depresi, dan sebagainya seringkali mengalami nasib yang jauh mengenaskan. Gejala-gejala seperti ini dipandang sebagai penyakit yang secara medis perlu disembuhkan. Masih beruntung bagi seorang Nash. Orang-orang yang selama ini dibilang gila dan tidak waras oleh masyarakat berkeliaran di pinggiran jalan dan menjadi obyek cemoohan. Mereka berada dalam kondisi yang benar-benar menyedihkan.
Orang-orang gila ini seringkali dikonsepsikan sebagai mereka yang menyimpang dari mayoritas masyarakat. Mereka dianggap defiant dalam kategori abnormal. Terhadap mereka, masyarakat menghardiknya sementara pemerintah pun menyingkirkannya, setidaknya mengasingkannya secara tidak manusiawi. Di Jakarta dan di kota-kota metropolitan pada umumnya, mereka dianggap sebagai sampah yang mengganggu keindahan, kenyamanan, dan ketertiban kota. Tidak jarang kita jumpai aparat Trantib pemerintah daerah setempat menggaruk mereka tanpa rasa prikemanusiaan sedikitpun.
Perlakuan buruk masyarakat dan aparat pemerintah terhadap orang-orang yang disebut gila ini ternyata juga tidak jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh kalangan akademis dan orang-orang terpelajar yang menempuh studi bidang kedokteran. Atas nama penelitian ilmiah, kegilaan dipahami dan diajarkan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis. Mereka, para ahli psikiatri, sibuk menciptakan kategori-kategori dan definisi-definisi kegilaan berikut cara-cara penanganannya. Melalui definisi dan kategori itu lantas mereka merasa berhak menentukan mana orang gila dan mana yang waras, siapa yang sehat dan siapa yang sakit, serta apa yang normal dan apa yang abnormal. Pada gilirannya lalu mereka mengintrodusir mekanisme-mekanisme tertentu dan berbeda tentang bagaimana seharusnya memperlakukan mereka.
Perlakuan terhadap orang gila yang semena-mena ini biasanya ditentukan oleh persepsi dan konsepsi masyarakat atau pemerintah terhadap kegilaan. Oleh karena itu sebuah konsepsi yang keliru tentang kegilaan pasti akan membuahkan penanganan yang keliru pula. Dan pada gilirannya cara penanganan yang salah ini akan menyebabkan orang yang mengalami kegilaan sendiri malah bertambah menderita, bukannya dipulihkan.
Nah, dalam paparan ini saya ingin menunjukkan bahwa dalam sejarahnya konsep kegilaan telah dipahami secara berbeda-beda oleh masyarakat. Setiap masa dan periode memiliki konsep tersendiri mengenai kegilaan dan bagaimana ia harus ditangani, serta bagaimana dampak penanganan itu bagi penderita sendiri. Paparan ini sekaligus memperlihatkan bahwa konsep kegilaan sebagai penyakit yang harus disembuhkan secara medis adalah fenomena baru dalam dunia modern sekarang ini. Demikian juga kategori-kategori abnormalitas dan menyimpang merupakan konstruksi sosial yang telah menjadi mitos. Sebuah mitos rasionalitas yang dibangun oleh aparat-aparat kemajuan, rezim pengetahuan, dan modernisme.
Dalam hal ini tidak bisa tidak kita berhutang jasa pada Michel Foucault yang berhasil menggali bukti sejarah melalui serangkaian penelitiannya tentang sejarah kegilaan di Eropa.
Konsep kegilaan dalam lembaran sejarah: Orang Gila dan Penyakit Lepra
Pada abad Tengah, sebelum abad ke-15, di Eropa orang-orang gila dihubungkan dengan terjadinya penghilangan dan pengeksklusian terhadap para penderita lepra dari masyarakat umum, dan mereka ditempatkan pada rumah-rumah sakit terpisah. Di seluruh daerah kekristenan ternyata jumlah rumah sakitnya mencapai 19.000 buah. Sekitar tahun 1226 ketika Louis VIII membuat undang-undang rumah sakit lepra bagi Perancis, lebih dari 2000 kantor pendaftaran muncul. Di keuskupan Paris sendiri terdapat 43 kantor. Dua kantor paling besar sekitar Paris adalah Saint-Germain dan Saint-Lazare. Sementara itu pada abad ke-12, Inggris dan Skotlandia memiliki sedikitnya 220 rumah sakit bagi setengah juta penduduknya.
Lalu memasuki abad ke-15 semua rumah sakit itu perlahan-lahan mulai kosong. Dengan mulai menghilangnya penyakit lepra ini di Eropa, masyarakat menyelenggarakan pesta sukacita dan syukuran yang sangat meriah. Namun sesuatu telah berubah. Ada fenomena baru yang muncul seiring dengan menghilangnya lepra. Pada abad berikutnya kantor Saint-Germain di Paris bergeser menjadi tempat untuk mereformasi anak-anak nakal. Sementara itu di Inggris institusi-institusi rumah sakit itu digunakan untuk menangani orang-orang miskin. Adapun di Stuttgart Jerman, sebuah laporan pengadilan tahun 1589 mengindikasikan bahwa selama lima puluh tahun tidak ada lagi penderita lepra di rumah-rumah sakit. Tapi di Lipplingen, rumah sakit lepra berubah dipakai untuk menampung orang-orang yang tidak bisa disembuhkan dan orang-orang gila.
Pada awal abad ke-17, lepra benar-benar lenyap dari daratan Eropa. Meski demikian ada hal yang masih tersisa yang menarik dari hilangnya lepra ini dan terus berlanjut ke periode berikutnya. Yakni suatu struktur yang tetap tinggal dalam imaji-imaji masyarakat yang dilekatkan pada ciri penderita lepra, yakni struktur pengucilan atau eksklusi itu sendiri. Mengapa struktur ini masih bertahan meski penderita lepra telah tiada?.
Berlanjutnya “tradisi” pengucilan ini sebenarnya bisa ditemukan akarnya pada kosmologi gereja Abad Pertengahan yang mengenal konsep penyerahan diri sebagai kunci penyelamatan. Penyakit merupakan tanda kemarahan sekaligus anugerah Tuhan. Menerima dengan sabar segala penderitaan serta menerima konsekuensi pengucilan akibat penyakitnya memiliki makna sebentuk komuni kepada Allah. Pandangan semacam inilah yang ikut memungkinkan struktur pengucilan itu terus terjadi dan “direproduksi” bersamaan dengan kepercayaan reintegrasi spiritual Gereja. Dengan demikian sebenarnya hilangnya penderita lepra ini telah menyebabkan kekosongan obyek pemberlakuan hukum moral dalam spiritual Gereja. Sehingga konsekuensinya nilai-nilai moral yang semula dikenakan kepada penderita lepra yang kini telah lenyap harus mendapatkan kambing hitam lainnya. Pertanyaannya siapa kambing hitamnya? Mari kita ikuti kisah orang gila pada abad berikutnya.
Orang Gila dan Parodi Kritik Sosial
Memasuki periode renaisans, kisah tentang orang-orang gila mulai beragam. Dalam beberapa karya sastra klasik digambarkan mengenai orang-orang gila yang yang dinavigasikan dalam kapal di lautan. Namun gambaran kapal-kapal itu bersifat romantik dan satiris yang secara simbolis membawa orang-orang gila ke pulau keberuntungan dan kebenaran mereka. Di antara karya-karya ini adalah Symphorien Champier yang memadukan Ship of Princes and Battles of Nability pada tahun 1502 dengan Ship of Virtous Ladies tahun 1503.
Terdapat juga Ship of Health bersama dengan Bauwe Schute Jacob van Oestvoren tahun 1413.
Adapun dalam Narranschiff, orang-orang gila itu bebas berlayar dari kota ke kota. Mereka berlayar dengan mudah dan diijinkan mengembara di daerah terbuka. Pada masa renaisance ini, orang-orang gila diperlakukan secara baik, dirawat sedemikian rupa di tengah-tengan warga kota, seperti di Jerman. Selain itu bahtera-bahtera ziarah dan kargo-kargo menjadi perlambang orang-orang gila yang tengah mencari rasionya.
Masa ini disebut juga “fase ambang” bagi orang-orang gila. Mereka yang di samping sebagai tahanan, juga memiliki ruang bebas.
Dalam karya sastra, semisal Praise of Folly karangan Erasmus, dan The Cure of Madnes dan Ship of Fools karangan Hieronymus Bosch, kegilaan sering dimainkan sebagai parodi atau satire dalam pertunjukan drama-drama. Justeru mereka yang dilekati status gila adalah mereka yang dengan keanehannya membawa kabar kebenaran dan pesan kebijaksanaan. Foucault menyebutnya orang-orang yang dikaruniai hikmat. Orang gila, orang bodoh atau orang tolol inilah yang justeru memiliki eksistensi penting sebagai penjaga moral dan kebenaran. Dalam spontanitas parodi, mereka melontarkan kritisisme sosial dan moral. Mereka menjungkirbalikkan norma-norma, asumsi-asumsi, dan pandangan-pandangan umum yang dianut masyarakat. Orang gila macam ini dibiarkan berkeliaran. Ia menjadi lambang/simbol kebijaksanaan, atau semacam Kebodohan yang melawan dan berdialog dengan supremasi kepintaran rasio.
Orang Gila dan Hospital Generale
Seiring bergulirnya waktu, makna positif kegilaan era renaisans yang menandai dialog kritis antara “kebodohan” dan rasio ini pelan-pelan lenyap. Tema-tema kapal kegilaan berakhir dan muncullah tema “Rumah Sakit Jiwa”.
Pada abad ke-17 terjadi pergeseran makna dan posisi orang-orang gila ini.
Di Paris, Inggris, Skotlandia, dan juga Jerman, tiba-tiba secara serentak hampir bersamaan, orang-orang gila ditempatkan dalam “Hospital Generale”; sebuah rumah pengurungan yang dibangun atas biaya pemerintah.
Di Paris, pendirian Hospital Generale ini sengaja didekritkan pada tahun 27 April 1656. Bersamaan dengan itu, gudang-gudang senjata, rumah tinggal, balai-balai kota, dan rumah-rumah sakit difungsikan sebagai rumah pengurungan. Ruang di mana orang miskin Paris, orang-orang cacat dengan segala jenis kelamin dan keturunan, dalam kondisi sehat atau tidak sehat ditempatkan di dalamnya. Pinel, misalnya menemukan orang-orang Gila dalam Hospital Generale di Bicetre (rumah prajurit) dan La Salpetriere (gudang senjata). Di sana hukuman dan represi diberlakukan dengan sadis oleh raja, polisi dan pengadilan.
Di Paris, Hopital Generale ini sama sekali tidak terkait dengan dengan suatu konsep medis tertentu untuk merawat orang-orang gila, melainkan kekuasaan. Kenyataan ini ditunjukkan dari peristiwa pembubaran Pusat Yayasan Sosial Gereja Seluruh Negara (Grand Almonry of the Realm) yang bertugas memberi bantuan sosial dan kesejahteraan kepada masyarakat oleh penguasa raja.. Dengan penghapusan ini diharapkan pemerintah akan lebih leluasa menerapkan proses pengurungan tanpa intervensi hukum dari lembaga-lembaga lain. Dengan demikian sesungguhnya Hospital Generale tidak lain merupakan instansi aturan dari tatanan monakhial dan borjuis belaka yang dijalankan di Perancis selama periode tersebut.
Adapun di Jerman, rumah-rumah pengoreksian atau Zuchthausern, semacam Hospital Generale didirikan
di Hamburg sekitar tahun 1620,
Basel (1667), Breslau (1668),
Frankfurt (1684),
Spandau (1684) dan
Konigsberg (1691).
Jumlah ini pun masih berkembang di Leipzig, Halle, Cassel, Brieg, Osnabruck dan Torgau. Bangunan kurungan ini mirip struktur semi-pengadilan, yang memiliki aparat-aparat administratif yang memiliki kekuasaan mutlak dan aturan-aturan yang independen di luar peradilan, kehakiman, dan keputusan raja. Orang-orang gila dikurung bersama-sama dengan para tuna-wisma, pengangguran, orang sakit, orang tua, orang yang tidak waras, dan kaum miskin.
Di Inggris, asal-usul pengurungan ini diperoleh dengan penemuan akta pada tahun 1575 yang berisi “hukuman atas para gelandangan dan pembebasan orang-orang miskin”. Rumah-rumah pengoreksian dibangun mencapai angka satu rumah setiap desanya. “Akta proyek” ini telah menempatkan para pengangguran, gelandangan, dan orang-orang miskin ke dalam rumah-rumah pengoreksian. Mereka dikurung dan dipekerjakan di dalamnya. Yang paling mengerikan mereka berada di bawah tanggungan pribadi-pribadi sehingga sering diperlakukan sewenang-wenang.
Sebuah akta tahun 1670
pengadilan menegaskan status mereka dalam rumah-rumah kerja. Tidak kalah juga pada tahun 1697 beberapa jemaah gereja Bristol bersatu padu membentuk rumah-rumah kerja pertama di Inggris. Rumah kerja kedua dibangun di Worcester tahun 1703 dan ketiga di Dublin, lalu di Plymouth, Norwich, Hull dan Exester. Hingga pada akhir abad ke-18, rumah-rumah kerja ini sudah mencapai terdapat 126 buah. Rumah-rumah kerja ini lalu meluas sampai Belanda, Italia, dan Spanyol. Penghuninya pun mulai heterogen. Dari orang-orang yang dituduh melanggar hukum dalam masyarakat, anak nakal, pemboros, orang yang tidak memiliki profesi sampai mereka yang dianggap tidak waras.
Perlu ditekankan di sini, bahwa pada abad tersebut masyarakat industri yang menekankan sebesar-besarnya produksi mulai terbentuk di Eropa. Karenanya lalu kriteria kegilaan pun ditujukan bagi mereka yang tidak mampu bekerja, para peminta, orang-orang malas, atau mereka yang tidak lagi produktif.
Pada tahun 1532, Parlemen Paris memutuskan menangkap pengemis dan memaksa mereka bekerja di pabrik tenun dengan kaki di rantai.
Tahun 1534, para pengemis dan gelandangan harus meninggalkan kota dan dilarang menyanyi himne di jalan-jalan. Pada tahun 1657 keluar sebuah maklumat berisi larangan kepada siapapun untuk mengemis di kota dan di desa sekitar Paris.
Bahkan pada tahun 1622 muncul pamflet Grievous Groan for the Poor (Rintihan yang menyedihkan bagi orang-orang miskin) dibuat oleh Thomas Dekker yang menekankan bahaya yang akan terjadi atas keberadaan orang-orang miskin dan merekomendasikan agar mereka dibuang ke tanah baru India Barat dan Timur. Atau mereka ditempatkan dalam rumah-rumah pengoreksian.
Tampak kemudian apa yang disebut sebagai Hospital Generale ini adalah tempat pengurungan bagi orang-orang yang dianggap abnormal, gila, dan menyimpang. Mereka adalah pengangguran, pengemis, pemalas, orang-orang cacat, juga orang yang tidak waras dan tidak mampu bekerja. Di dalam Hospital Generale ini lalu mereka ditempatkan untuk diberikan pekerjaan oleh penguasa.
Tujuannya bukan untuk menjamin kesejahteraan mereka, melainkan sebagai disposisi penguasa tentang apa yang seharusnya mereka lakukan. Tepatnya sebuah etika bahwa manusia harus melakukan kerja sebagai sebuah hukuman. Menjadi kewajiban moral penguasa untuk membuat manusia itu bekerja. Dengan bekerja, manusia membedakan dirinya dengan binatang, yakni sebagai manusia yang waras.
Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa fungsi Hospital Generale adalah alat koreksi belaka terhadap status kegilaan seseorang; yakni mencegah kesemrawutan tatanan dari orang-orang malas, pengemis dan pengangguran, yang notabene dianggap sebagai dimensi kebinatangan manusia. Atas nama “kewajiban moral” ini penguasa melakukan serangkaian praktek pendisiplinan dan represi fisik terhadap orang-orang gila. Mereka diikat dengan rantai, dipukuli, berada dalam pasungan, digantung, dan dtempatkan dalam penjara-penjara untuk mentaati kerja.
Peristiwa ini bisa dihubungkan dengan pengkambinghitaman atas hilangnya subyek moral setelah penyakit lepra di daratan Eropa menghilang.
Orang Gila dan Disiplin Psikiatri
Memasuki abad 19, orang-orang gila dikelompokkan dan dikategorisasikan ke dalam mereka yang mengalami gangguan mental, stres, neurosis, melankolis, atau schizoprenia dimasukkan dalam rumah-rumah sakit jiwa. Mereka menjalani proses “penyembuhan”. Mereka tidak lagi mengalami represi fisik (diikat pada rantai atau dicambuk seperti seabad sebelumnya), juga mereka tidak menjadi tanggung jawab masyarakat bersama, melainkan kegilaan itu ditangani oleh seorang dokter, seorang terapist atau seorang psikiater untuk disembuhkan bak suatu penyakit.
Bagaimana mekanismenya?
Adapun mekanismenya adalah melalui kesunyian dan penyadaran layaknya orang yang bertatapan dengan “cermin”. Maksudnya: orang-orang gila ini ditempatkan dalam kesunyian, berbicara, menatap dan mengoreksi dirinya sendiri, bagaikan berada dihadapan sebuah cermin, sehingga menyadari kegilaannya. Melalui percakapan, bahasa dan kata-kata, terapi mencoba meyakinkan orang gila akan status kegilaannya dan menyadari dirinya sendiri benar-benar gila supaya bebas dari kegilaan tersebut. Melalui terapi itu mereka dihinakan karena status kegilaannya itu.
Di sini tentu saja sang terapis-lah (dokter) yang menentukan disposisi gila dan tidak, rasional atau tidak rasional. Dan perlahan-lahan cara-cara, aturan-aturan, dan pengetahuan terapi ini diinstitusionalisasikan dalam suatu disiplin ilmu yang kita kenal sekarang ini sebagai disiplin ilmu psikiatri, berikut teknik psikoanalisisnya.
Penilaian kegilaan ini dilakukan secara terus menerus! Apa yang dilakukan oleh tokoh medis ini dalam teknik psikiatrinya bukanlah diagnosa obyektif dan ketat atas kegilaan itu sendiri, melainkan mengobservasi dan mempercakapkan kegilaan itu sendiri pada penderitanya. Tokoh medis itu mengorek sumber-sumber kegilaan, mengungkap kesalahan-kesalahan tersembunyi, dan biasanya berusaha menghadirkan rasionalitas menggantikan unsur-unsur atau perasaan irasionalitas penyebab kegilaan. Dokter, melalui otoritas keilmuannya, mengontrol, mengawasi, dan menentukan kehendak, moralitas dan makna keteraturan atau kewarasan dalam diri pasien.
Menurut Foucault, tahap ini merupakan tindakan yang lebih menyakitkan daripada represi fisik sebagaimana terjadi sebelumnya. Mengapa?
Karena disiplin psikiatri justeru menjadi alat represi paling paripurna yang langsung menusuk ke jantung batin, mengawasi perasaan dan pikiran manusia. Jika pada abad klasik orang gila dibiarkan berkeliaran atau dihempaskan berlayar dalam samudra kebebasan, lalu pada abad berikutnya mereka dikurung dalam penjara Hospital Generale yang represif dan mematikan, maka pada abad 19 ini kegilaan adalah sebuah penyakit dan penderitanya mesti ditempatkan dalam rumah sakit jiwa untuk disembuhkan secara medis. Bukan hanya itu, sekarang telah muncul suatu otoritas baru yang memiliki otoritas tunggal menentukan status kegilaan seseorang.
Yakni: para ahli dan dokter. Tidak berhenti di situ mereka pun menciptakan disiplin keilmuan baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Yakni: disiplin ilmu psikiatri.
Dengan demikian pada jaman modern ada tiga institusi yang saling terkait dan dianggap paling berhak menghakimi status kegilaan seseorang.
Pertama, dokter atau ahli medis;
kedua, disiplin ilmu psikiatri; dan ketiga, sebuah struktur aneh yang disebut rumah sakit jiwa. Foucault menyebut fenomena ini sebagai pendewaan atas tokoh medis dalam struktur penanganan kegilaan.
Tiga institusi inilah yang akhirnya memberikan label baru terhadap orang-orang gila ini sebagai orang yang berpenyakit jiwa.
Kesimpulan: Sensitifitas terhadap kuasa/pengetahuan
Dalam terang hasil penelitian Michel Foucault mengenai sejarah kegilaan di atas, sekarang kita bisa pahami bagaimana sebuah kegilaan telah dikonsepsikan dan ditangani secara berbeda-beda dalam setiap periode sejarah tertentu. Ada pergeseran-pergeseran tentang makna kegilaan berikut posisi orang-orang gila dalam masyarakat. Di situ pula ditunjukkan kekuasaan macam apa yang mengklaim punya hak menentukan kategori-kategori kegilaan dan cara penanganannya.
Dalam kapal-kapal kegilaan abad renaisans, misalnya, orang-orang gila adalah mereka kaum bijak yang bebas menyampaikan khotbah-khotbah satiris dan kritis terhadap kekuasaan. Dalam Hospital Generale orang-orang gila didefinisikan dan dikendalikan oleh kuasa obligasi etis negara. Sedangkan dalam rumah sakit jiwa mereka diawasi, dikontrol dan dikendalikan para tokoh medis dan ilmu psikiatrinya.
Kini disiplin psikiatri sangat sentral dalam penanganan masalah kelainan mental atau kegilaan ini. Dengan mudahnya kegilaan dipersepsi sebagai penyakit yang mesti disembuhkan secara medis. Lihatlah misalnya laporan Scientific American 1999. Dengan mengutip hasil penelitian W.W. Eaton, laporan ini menyatakan bahwa pada tahun 1985 terdapat sekitar 1 % penduduk dunia yang berumur antara 15 hingga 30 tahun mengidap penyakit Schizoperenia. Angka tersebut akan terus membesar karena hingga kini belum ditemukan metoda penyembuhan dan obat penyembuh yang manjur dan meyakinkan. Lalu laporan itupun mengajukan tiga pendekatan untuk mengenali gejala penyakit jiwa ini.
Yaitu pendekatan genetika, pendekatan kejiwaan, dan pendekatan anatomis keorganan otak. Pendekatan genetika, katanya, cenderung mengkaitkan penderita penyakit Schizoprenia berdasarkan garis keturunan dengan genetika generasi sebelumnya seperti ayah-bunda, kakek-nenek dan seterusnya, mengenai kemungkinan mengidap penyakit yang sama. Adapun pendekatan kejiwaan menyimpulkan bahwa penyebab penyakit schizoprenia berasal dari ketidakberesan mental (mental disorder).
Masalah kejiwaan ini (pathophysiology) berkaitan timbal balik dengan kerja fungsional otak melalui jaringan sistem persyarafan. Dan pada akhir laporan tersebut dinyatakan bahwa uji coba perawatan medis terhadap gejala-gejala kejiwaan tersebut (penyakit-penyakit itu, kata mereka) terkadang menimbulkan dampak yang mengerikan, terutama bagi penderita yang berusia produktif, karena dapat menimbulkan kekurangan pathognomonic yang berpengaruh pada tingkat kesuburan penderita.
Oleh karena itu, diharapkan pengobatan alternatif dapat berperan
Dari laporan tersebut setidaknya secara implisit menunjukkan bahwa penanganan medis terhadap gejala kegilaan atau sakit mental tidaklah berhasil. Bisa jadi (atau malahan mungkin bisa dipastikan), ketidakberhasilan ini akibat salah diagnosa terhadap gejala kegilaan. Ia dianggap sebuah penyakit. Padahal bisa jadi gejala-gejala yang ahli medis anggap sebagai sakit jiwa, kelainan mental, atau kegilaan tersebut adalah produk atau pengaruh dari sistem sosial kita yang sebenarnya fasis dan tidak memberi ruang sejengkalpun pada manusia untuk membangun proyek imajinasinya. Bisa jadi mereka adalah jiwa-jiwa yang kosong yang meratap dan mengalami histeria ketakutan oleh situasi masyarakat dan sistem sosial kita yang telah sakit parah. Sayangnya orang-orang yang mengaku sehat (padahal sebenarnya sakit ini) malahan menghakimi mereka sebagai penderita penyakit jiwa.
Sejarah kegilaan dan bagaimana ia ditangani secara berbeda-beda di atas memberi pelajaran mengenai kejatuhan kita dalam berbagai asumsi naif. Asumsi-asumsi yang berakibat fatal bagi kehidupan manusia. Karenanya, kita seyogyanya perlu curiga terhadap asumsi-asumsi itu dan kekuasaan (kuasa pengetahuan, kuasa institusi, kuasa otoritas tertentu) di baliknya. Ini artinya, kita dituntut memiliki sensitifitas dan kepekaan dalam melihat kenyataan: apakah suatu konsep atau sistem pengetahuan tertentu lebih humanis dan emansipatoris atau, sebaliknya, justeru melakukan dehumanisasi?
Jelasnya, kita patut mempertanyakan jangan-jangan persepsi dan cara kita memperlakukan orang gila, tidak waras, gangguan mental, dan sebagainya selama ini adalah konstruksi belaka dari sebuah “rezim kebenaran” yang diciptakan oleh para ahli medis dan disiplin ilmu psikiatri yang sekarang ini giat diintrodusir melalui sekolah-sekolah dan perguruan tinggi kita. Jika benar demikian, maka tibalah kita pada kesimpulan hipotetis, bahwa pengetahuan dan tindakan kita sepenuhnya dikendalikan rezim kekuasaan/pengetahuan yang fasis dan yang tak henti-hentinya mencengkeram kehidupan kita.





SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN
March 9, 2010 by mirzal tawi
A. DEFINISI KEPERAWATAN
Perawat adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimilikinya yang diperoleh melalui pendidikan keperawatan (UU Kesehatan No. 23, 1992).

Menurut Effendy (1995), perawatan adalah pelayanan essensial yang diberikan oleh perawat terhadap individu, keluarga dan masyarakat. Pelayanan yang diberikan adalah upaya mencapai derajat kesehatan semaksimal mungkin sesuai dengan potensi yang dimiliki dalam menjalankan kegiatan di bidang promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dengan menggunakan proses keperawatan.
Merawat mempunyai suatu posisi sentral. Merawat merupakan suatu kegiatan dalam ruang lingkup yang luas yang dapat menyangkut diri kita sendiri, menyangkut sesuatu yang lain dan menyangkut lingkungan. Jika kita merawat sesuatu, kita menginginkan hasil yang dicapai akan memuaskan. Jadi kita akan selalu berusaha untuk mencapai sesuatu keseimbangan antara keinginan kita dan hasil yang akan diperoleh.
B.SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DUNIA
Merawat orang sama tuanya dengan keberadaan umat manusia. Oleh karena itu perkembangan keperawatan, termasuk yang kita ketahui saat ini, tidak dapat dipisahkan dan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia. Kepercayaan terhadap animisme, penyebaran agama-agama besar dunia serta kondisi sosial ekonomi masyarakat.
1.Perkembangan Keperawatan Masa Sebelum Masehi
Pada masa sebelum masehi perawatan belum begitu berkembang, disebabkan masyarakat lebih mempercayai dukun untuk mengobati dan merawat penyakit. Dukun dianggap lebih mampu untuk mencari, mengetahui, dan mengatasi roh yang masuk ke tubuh orang sakit. Demikian juga di Mesir yang bangsanya masih menyembah Dewa Iris agar dapat disembuhkan dari penyakit. Sementara itu bangsa Cina menganggap penyakit disebabkan oleh setan atau makhluk halus dan akan bertambah parah jika orang lain menyentuh orang sakit tersebut.
2.Perkembangan Keperawatan Masa Setelah Masehi
Kemajuan pradaban manusia dimulai ketika manusia mengenal agama. Penyebaran agama sangat mempengaruhi perkembangan peradaban manusia, sehingga berdampak positif terhadap perkembangan keperawatan.
a.Perkembangan Kperawatan Masa Penyebaran kristen
Pada permulaan Masehi, Agama Kristen mulai berkembang. Pada masa itu, keperawatan mengalami kemajuan yang berarti, seiring dengan kepesatan perkembangan Agama Kristen. Ini dapat di lihat pada masa pemerintahan Lord Constantine, yang mendirikan Xenodhoeum atau hospes (latin), yaitu tempat penampungan orang yang membutuhkan pertolongan terutama bagi orang-orang sakit yang memerlukan pertolongan dan perawatan.
b.Perkembangan Keperawatan Masa Penyebaran Islam
Pada pertengahan Abad VI Masehi, Agama Islam mulai berkembang. Pengaruh Agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak terlepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyebarkan Agama Islam. Memasuki Abad VII Masehi Agama Islam tersebar ke berbagai pelosok Negara. Pada masa itu di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti: ilmu pasti, ilmu kimia, hygiene dan obat-obatan. Prinsip-prinsip dasar perawatan kesehatan seperti pentingnya menjaga kebersihan makanan, air dan lingkungan berkembang secara pesat. Tokoh keperawatan yang terkenal dari dunia Arab pada masa tersebut adalah “Rafida”.
c.Perkembangan Keperawatan Masa Kekuasaan
Pada permulaan Abad XVI, struktur dan orientasi masyarakat mengalami perubahan, dari orientasi kepada agama berubah menjadi orientasi kepada kekuasaan, yaitu: perang, eksplorasi kekayaan alam serta semangat kolonialisme. Pada masa itu telah terjadi kemunduran terhadap perkembangan keperawatan, dimana gereja dan tempat-tempat ibadah ditutup, sehingga tenaga perawat sangat jauh berkurang. Untuk memenuhi kekurangan tenaga tersebut maka digunakanlah bekas wanita jalanan (WTS) yang telah bertobat sebagai, sehingga derajat seorang perawat turun sangat drastis dipandangan masyarakat saat itu.
3.Perkembangan Keperawatan Di Inggris
Perkembangan keperawatan di Inggris sangat penting untuk kita pahami, karena Inggris melalui Florence Nightingle telah membuka jalan bagi kemajuan dan perkembangan keperawatan yang kemudian diikuti oleh negara-negara lain.
Florence Nightingle, lahir dari keluarga kaya dan terhormat pada tahun 1820 di Flronce (Italia). Setahun setelah kelahirannya, keluarga Florence kembali ke Inggris. Di Inggris Florence mendapatkan pendidikan sekolah yang baik sehingga ia mampu menguasai bahasa Perancis, Jerman, dan Italia. Pada usia 31 tahun Florence mengikuti kursus pendidikan perawat di Keiserwerth (Italia) dan Liefdezuster di Paris, dan setelah pendidikan ia kembali ke Inggris.
Pada saat Perang Krim (Crimean War) terjadi di Turki tahun 1854, Florence bersama 38 suster lainnya di kirim ke Turki. Berkat usaha Florence dan teman-teman, telah terjadi perubahan pada bidang hygiene dan keperawatan dengan indikator angka kematian turun sampai 2%.
Kontribusi Florence Nightingle bagi perkembangan keperawatan adalah menegaskan bahwa nutrisi merupakan satu bagian penting dari asuhan keperawatan, meyakinkan bahwa okupasional dan rekreasi merupakan suatu terapi bagi orang sakit, mengidentifikasi kebutuhan personal klien dan peran perawat untuk memenuhinya, menetapkan standar manajemen rumah sakit, mengembangkan suatu standar okupasi bagi klien wanita, mengembangkan pendidikan keperawatan, menetapkan 2 (dua) komponen keperawatan, yaitu: kesehatan dan penyakit. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dan berbeda dengan profesi kedokteran dan menekankan kebutuhan pendidikan berlanjut bagi perawat.
C. SEJARAH PERKEMBANGAN KEPERAWATAN DI INDONESIA
1.Sejarah Perkembangan Keperawatan Sebelum Kemerdekaan
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut “velpleger” dengan dibantu “zieken oppaser” sebagai penjaga orang sakit. Mereka bekerja pada rumah sakit Binnen Hospital di Jakarta yang didirikan tahun 1799.
Pada masa VOC berkuasa, Gubernur Jendral Inggris Raffles (1812-1816), telah memiliki semboyan “Kesehatan adalah milik manusia” Pada saat itu Raffles telah melakukan pencacaran umum, membenahi cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa serta memperhatikan kesehatan dan perawatan tahanan.
Setelah pemerintah kolonial kembali ke tangan Belanda, di Jakarta pada tahun 1819 didirikan beberapa rumah sakit. Salah satunya adalah rumah sakit Sadsverband yang berlokasi di Glodok-Jakarta Barat. Pada tahun 1919 rumah sakat tersebut dipindahkan ke Salemba dan sekarang dengan nama RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM).
Dalam kurun waktu 1816-1942 telah berdiri beberapa rumah sakit swasta milik misionaris katolik dan zending protestan seperti: RS. Persatuan Gereja Indonesia (PGI) Cikini-Jakarta Pusat, RS. St. Carolos Salemba-Jakarta Pusat. RS. St Bromeus di Bandung dan RS. Elizabeth di Semarang. Bahkan pada tahun 1906 di RS. PGI dan tahun 1912 di RSCM telah menyelenggarakan pendidikan juru rawat. Namun kedatangan Jepang (1942-1945) menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran.
2.Sejarah Perkembangan Keperawatan Setelah kemerdekaan
a.Periode 1945 -1962
Tahun 1945 s/d 1950 merupakan masa transisi pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perkembangan keperawatan pun masih jalan di tempat. Ini dapat dilihat dari pengembanagan tenaga keperawatan yang masih menggunakan system pendidikan yang telah ada, yaitu perawat lulusan pendidikan Belanda (MULO + 3 tahun pendidikan), untuk ijazah A (perawat umum) dan ijazah B untuk perawat jiwa. Terdapat pula pendidikan perawat dengan dasar (SR + 4 tahun pendidikan) yang lulusannya disebut mantri juru rawat.
Baru kemudian tahun 1953 dibuka sekolah pengatur rawat dengan tujuan menghasilkan tenaga perawat yang lebih berkualitas. Pada tahun 1955, dibuka Sekolah Djuru Kesehatan (SDK) dengan pendidikan SR ditambah pendidikan satu tahun dan sekolah pengamat kesehatan sebagai pengembangan SDK, ditambah pendidikan lagi selama satu tahun.
Pada tahun 1962 telah dibuka Akademi Keperawatan dengan pendidikan dasar umum SMA yang bertempat di Jakarta, di RS. Cipto Mangunkusumo. Sekarang dikenal dengan nama Akper Depkes di Jl. Kimia No. 17 Jakarta Pusat.
Walupun sudah ada pendidikan tinggi namun pola pengembangan pendidikan keperawatan belum tampak, ini ditinjau dari kelembagaan organisasi di rumah sakit. Kemudian juga ditinjau dari masih berorientasinya perawat pada keterampilan tindakan dan belum dikenalkannya konsep kurikulum keperawatan. Konsep-konsep perkembangan keperawatan belum jelas, dan bentuk kegiatan keperawatan masih berorientasi pada keterampilan prosedural yang lebih dikemas dengan perpanjangan dari pelayanan medis.
b.Periode 1963-1983
Periode ini masih belum banyak perkembangan dalam bidang keperawatan. Pada tahun 1972 tepatnya tanggal 17 April lahirlah organisasi profesi dengan nama Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) di Jakarta. Ini merupakan suatau langkah maju dalam perkembangan keperawatan. Namun baru mulai tahun 1983 organisasi profesi ini terlibat penuh dalam pembenahan keperawatan melalui kerjasama dengan CHS, Depkes dan organisasi lainnya.
c.Periode 1984 Sampai Dengan Sekarang
Pada tahun 1985, resmi dibukanya pendidikan S1 keperawatan dengan nama Progran Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi di Jakarta. Sejak saat itulah PSIK-UI telah menghasilkan tenaga keperawatan tingkat sarjana sehingga pada tahun 1992 dikeluarkannya UU No. 23 tentang kesehatan yang mengakui tenaga keperawatan sebagai profesi.
Pada tahun 1996 dibukanya PSIK di Universitas Padjajaran Bandung. Pada tahun 1997 PSIK-UI berubah statusnya menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI), dan untuk meningkatkan kualitas lulusan, pada tahun 1998 kurikulum pendidikan Ners disyahkan dan digunakan. Selanjutnya juga pada tahun 1999 kurikulum D-III keperawatan mulai dibenahi dan mulai digunakan pada tahun 2000 sampai dengan sekarang.
D.TREND KEPERAWATAN SEKARANG DAN MASA DEPAN
Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang termasuk bidang kesehatan, peningkatan status ekonomi masyarakat, peningkatan perhatian terhadap pelaksanaan hak asasi manusia, kesadaran masyarakan akan kebutuhan kesehatan mengakibatkan masyarakat semakin sadar akan pentingnya hidup sehat dan melahirkan tuntutan akan pelayanan kesehatan yang berkualitas.
Pergeseran akan fenomena tersebut, telah mengubah sifat pelayanan keperawatan dari pelayanan fokasional yang hanya berdasarkan keterampilan belaka kepada pelayanan profesional yang berpijak pada penguasaan iptek keperawatan dan spesialisasi dalam pelayanan keperawatan.
Fokus peran dan fungsi perawat bergeser dari penekanan aspek kuratif kepada peran aspek preventif dan promotif tanpa meninggalkan peran kuratif dan rehabilitatif.
Kondisi ini menuntut uapaya kongkrit dari profesi keperawatan, yaitu profesionalisme keperawatan. Proses ini meliputi pembenahan pelayanan keperawatan dan mengoptimalkan penggunaan proses keperawatan, pengembangan dan penataan pendidikan keperawatan dan juga antisipasi organisasi profesi (PPNI).
1.Pengembangan dan Penataan Pendidikan Keperawatan
Meningkatnya tuntutan masyarakat terhadap pelayanan keperawatan yang profesional, telah memicu perawat untuk terus mengembangkan dirinya dalam berbagai bidang, terutama penataan sistem pendidikan keperawatan. Oleh karena itu profesi keperawatan dengan landasan yang kokoh perlu memperhatikan wawasan keilmuan, orientasi pendidikan dan kerangka konsep pendidikan
a.Wawasan Keilmuan
Pada tingkat pendidikan akademi, penggunaan kurikulum D III keperawatan 1999, merupakan wujud dari pembenahan kualitas lulusan keperawatan. Wujud ini dapat dilihat dengan adanya:
•Mata Kuliah Umum (MKU), yaitu: Pendidikan Agama, Pancasila, Kewiraan dan Etika Umum)
•Mata Kuliah Dasar Keahliah (MKDK), yaitu: Anatomi, Fisiologi dan Biokimia, Mikrobiologi dan Parasitologi, Farmakologi, Ilmu Gizi dan Patologi.
•Mata Kuliah Keahlian (MKK), yaitu: KDK, KDM I dan II, Etika Keperawatan, Komunikasi Dalam Keperawatan, KMB I, II, III, IV dan V, Keperawatan Anak I dan II, Keperawatan Maternitas I dan II, Keperawatan Jiwa I dan II, Keperawatan Komunitas I, II dan III, Keperawatan Keluarga, Keperawatan gawat Darurat, Keperawatan Gerontik, Kepemimpinan dan Manajemen Keperawatan, Keperawatan Profesional dan Pengantar Riset Keperawatan.
Demikian juga halnya dengan tingkat pendidikan S1 Keperawatan, yaitu dengan berlakunya kurikulum Ners pada tahun 1998.
Sementara itu di Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI) telah dibuka S2 Keperawatan untuk Studi Manajemen Keperawatan, Keperawatan Maternitas dan Keperawatan Komunitas. Dan selanjutnya akan dibuka Studi S2 Keperwatan Jiwa dan Keperawatan Medikal Bedah.
Dapat disimpulkan bahwa saat ini perkembangan keperawatan diarahkan kepada profesionalisme dengan spesialisasi bidang keperawatan.
b.Orientasi Pendidikan
Pendidikan keperawatan bagaimanapun akan tetap berorientasi pada pengembangan pengetahuan dan teknologi, artinya pengalaman belajar baik kelas, laboratorium dan lapangan tetap mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta memanfaatkan segala sumber yang memungkinkan penguasaan iptek. Sehingga diharapkan dapat meningkatkan pelayanan keperawatan dan persaingan global.
c.Kerangka Konsep
Berpikir ilmiah, pembinaan sikap dan tingkah laku profesional, belajar aktif mandiri, pendidikan dilingkungan masyarakat serta penguasaan iptek keperawatan merupakan karakteristik dari pendidikan profesional keperawatan.
2.Perkembangan Pelayanan Keperawatan
Perubahan sifat pelayanan dari fokasional menjadi profesional dengan fokus asuhan keperawatan dengan peran preventif dan promotif tanpa melupakan peran kuratif dan rehabilitatif harus didukung dengan peningkatan sumber daya manusia di bidang keperawatan. Sehingga pada pelaksanaan pemberian asuhan keperawatan dapat terjadinya pelayanan yang efisien, efektif serta berkualitas.
Selanjutnya, saat ini juga telah berkembang berbagai model prakti keperawatan profesional, seperti:
•Praktik keperawatan di rumah sakit fasilitas kesehatan
•Praktik keperawatan di rumah (home care)
•Praktik keperawatan berkelompok (nursing home = klinik bersama, dan
•Praktik keperawatan perorangan, yaitu melalui keputusan Kepmenkes No. 647 tahun 2000, yang kemudian di revisi menjadi Kepmenkes No. 1239 tahun 2001 tentang Registrasi dan Praktik Keperawatan.
Daftar Pustaka
Alimul, A.H. (2002), Pengantar pendidikan keperawatan. Sagung Seto: Jakarta
Effendy, N. (1995), Pengantar proses keperawatan. EGC: Jakarta
Gaffar, L.O.J. (1999), Pengantar praktik keperawatan professional. EGC: Jakarta
Stevens, P.J.M, et al. (1999) Ilmu keperawatan. Jilid I, Ed. 2. EGC: Jakarta
Posted in KEPERAWATAN | Tagged FIKUI, florence nightingle, islam, KEPERAWATAN, keperawatan dunia, keperawatan indonesia, kerangka, kesehatan, konsep, perawat, sejarah keperawatan, universitas indonesia | Leave a Comment



SEJARAH KEPERAWATAN DUNIA
Minggu, 11 Mei 2008
SEJARAH KEPERAWATAN DUNIA



Keperawatan lahir sejak naluriah keperawatan lahir bersamaan dengan penciptaan manusia perkembangan keperawatan dipengaruhi dengan semakin maju peradaban manusia maka semakin berkembang keperawatan
• Perkembangan dipengaruhi oleh :
Perawatan dan pengobatan zaman purba
Orang-orang pada zaman dahulu hidup dalam keadaan primitive. Namun demikian mereka sudah mampu sedikit pengetahuan dan kecakapan dalam merawat atau mengobati. Pekerjaan "merawat" dikerjakan berdasarkan naluri (instink) à naluri binatang à "mother instinct" (naluri keibuan) yang merupakan suatu naluri dalam yang bersendi pada pemeliharaan jenis (melindungi anak, merawat orang lemah)
à Perawatan dan pengobatan secara praktis telah dilakukan oleh orang-orang primitive, misalnya :
a. Merawat dan mengobati luka-luka
b. Menurunkan panas dengan memberikan air minum yang banyak atau perawatannya dengan menggunakan air (kompres)
c. Membuka absoes dengan menggunakan batu-batu tajam
d. Menhentikan pendarahan dengan menggunakan batu-batu panas
e. Pemakaian tumbuh-tumbuhan sebagai pengobatan penyakit

Pengaruh kepercayaan terhadap perawatan dan pengobatan
Manusia zaman purba menganut kepercayaan/agama "animisme" menghubungkan terjadinya penyakit dnegan kepercayaan animisme ini, sehingga mereka beranggapan bahwa orang menderita sakit disebabkan karena kemasukan arwah-arwah (roh-roh) itu. Orang-orang yang menaruh perhatian terhadap tanda-tanda penyakit à orang "ahli" dalam mengambil tindakan pengobatan terhadap orang sakit. Orang ahli tersebut kemudiajn disebut ahli obat-obatan = dukun dalam pengobatannya dukun antara lain memperhatikan aturan-aturan sebagai berikut :


A. Ajaran alam
Suatu kepercayaan yang menganjurkan bahwa alam sendiri memberikan petunjuk-petunjuk tentang obat yang akan dipakai misalnya Luka yang berdarah di beri balutan atau kain yang berwarna merah/daun merah. Apabila sakit kuning di beri obat minum dari akar-akaran atau kulit tumbuhan berwarna kuning.
B. Ajaran transmigrasi
Suatu ajaran yang mempercayai akan adanya kekeuatanm daya pemindahan. Misal : Pada waktu seorang wanita akan melahirkan, diberi air rendaman daun dan membuka lebar-lebar semua pintu

Perawatan pada beberapa bangsa dan Negara
A. Mesir
Bangsa mesir pada zaman purba telah menyembah banyak dewa. Dewa yang terkenal antara lain Isis. Mereka beranggapan bahwa dewa ini menaruh minat terhadap orang sakit dan memberikan pertolongan pada waktu si sakit sedang tidur. Didirikanlah kuil yang merupakan rumah sakit pertama di mesir
Ketabiban
Ilmu ketabiban terutama ilmu bedah telah dikenal oleh bangsa mesir zaman purba (± 4800 SM). Dalam menjalankan tugasnya sebagai tabib ia menggunakan bidai (spalk), alat-alat pembalut, ia mempunyai pengetahuan tentang anatomi, Hygienr umum serta tentang obat-obatan. Didalam buku-buku tertulis dalam kitab Papyrus didalamnya memuat kurang lebih 700 macam resep obat-obatan dari Mesir
B. Babylon dan syiria
Ilmu pengetahuan tentang anatomi dan obat-obat ramuan telah diketahui oleh bangsa Babylon sejak beberapa abad SM. Pada salah satu tulisan yang menyatakan bahwa pada 680 SM orang telah mengetahui cara menahan darah yang keluar dari hidung dan merawat jerawant pada muka.
Bangsa Babylon menyembah dewa oleh karena itu perawatan atau pengobatan berdasarkan kepercayaan tersebut.
C. Yahudi kuno
Ilmu pengetahuan bangsa Yahudi banyak di peroleh dari bangsa Mesir. Misalnya : cara-cara memberi pengobatan orang yang terkenal adalah Musa. Ia juga dikenal sebagai seorang ahli hygiene. Dibawah pimpinannya bangsa Yahgudi memajukan minatnya yang besar terhadap kebersihan umum dan kebersihan diri.
Undang-undang kesehatan bangsa Yahudi menjadi dasar bagi hygiene modern dimana cara-cara dan peraturannya sesuai dengan bakteriologi zaman sekarang, misalnya :
1. Pemeriksaan dan peminilah bahan makanan yang akan di makan
2. Mengadakan cara pembuangan kotoran manusia
3. Pelarangan makan daging babi karena dapat menimbulkan suatu penyakit
4. Memberitahukan kepada yang berwajib bila ada penyakit yang berbahaya, sehingga dapat diambil tindakan

D. India
Bangsa India (Hindu) di zaman purba telah memeluk agama Brahmana, disamping memuja dan meminta pertolongan kepada dewa (dikuil) untuk menyembuhkan orang sakit. Di India telah terdapat RS khususnya di Utara saat pemerintahan Rasa Asoka, ± 8 RS dimana sebagian kemudian dijadikan sekolah-sekolah pengobatan dan perawatan

E. Tiongkok
Bangsa Tiongkok telah mengenal penyakit kelamin diantaranya gonorhoea dan syphilis. Pencacaran juga telah dilakukan sejak 1000 SM ilmu urut dan psikoterapi.
Orang-orang yang terkenal dalam ketabiban :
1) Seng Lung
Dikenal sebagai "Bapak Pengobatan, yang ahli penyakit dalam dan telah menggunakan obat-obat dari tumbuh-tumbuhan dan mineral (garam-garaman). Semboyannya yang terkenal adalah Lihat, Dengar, Tanya, Rasa.
2) Chang Chung Ching ± 200 Sm telah mengerjakan lavement dengan menggunakan bamboo

F. Yunani
Bangsa Yunani zaman purba memuja dan memuliakan banyak dewa (polytheisme) dewa yang terkenal adalah dewa yang dianggap sebagai dewa pengobatan putri dan dewa yang bernama hygiene sebagai Dewi kesehatan, maka timbullah perkataan higyene.
Untuk pemujaan terhadap para dewa didirikan kuil (1134 SM) yang juga berfungsi sebagai pengobatan orang sakit dan perawatan dikerjakan oleh para budak-budak.
Orang-orang ternama dalam ketabiban antara lain
1. Hippocrates (hidup ± 400 SM) à bapak pengobatan dengan jasa :
- Dasar cara pengobatan sampai sekarang ini
- Penyakit bukan karena setan, melainkan rusaknya undang-undang alam
- Mengembangkan tehnik pemeriksaan badan
- Mengajarkan tentang makanan si sakit
- Menganjurkan supaya penderita sakit jiwa dirawat secara perikemanusiaan
- Mengajarkan tentang semangat pekerjaan, menghargai teman sejawat, , bertanggung jawab terhadap si sakit yang menjadi sumpah hypocrates
2. Plato
ahli filsafat Yunani, otak sebagai pusat kesadaran
3. Aristoteles
Ahli filsafat, ahli jiwa dan ilmu hayat

G. Roma
Rumah sakit Roma zaman purba di sebut valentrumdinari Roma yang terdapat di swiss ditemukan alat-alat perawatan ex. Peralatan untuk huknah pot-pot tempat selep. Juga ditemukan instrument untuk keperluan pembedahan ex : pisau, pincet, klem arteri, speculum. Tokoh terkenal Julius Caesar (101-44 SM). Seorang wali Negara yang pertama-tama mengakui guru-guru hygiene dan menganjurkan tentang kesehatan dan kebersihan

H. Irlandia
Pengetahuan tentang pengobatan telah diketahui lama SM. Tentang Rumah sakit, Seorang putri raja bernama Macha (abad ke 3) mendirikan rumah sakit untuk orang-orang miskin yang sakit. Nama RS tersebut Broin Beargh à rumah kesusahan

I. Amerika
Rumah sakit sederhana telah didirikan dikota besar oleh bangsa Asteken di Amerika Utara, sedang RS yang baik dan merupakan RS pertama didirikan pada tahun 1521 oleh cortez dari Mexico yaitu RS san Jesu Nazareno

• Perkembangan perawatan zaman permulaan masehi
Nabi Isa lahir à "Agama Baru" agama masehi (Nasrasni/Kristen) perkembangan perawatan à bercorak keagamaan à ajaran kasih sayang terhadap sesama manusia (perhatian dan perawatan terhadap orang kesusahan – keadaan sakit)
Permulaan diakones
Diakones à pembantu pendeta dalam gereja, memberi nasehat, mengobati orang sakit serta mengunjungi tempat tawanan. Diakones menjadi satu lembaga wanita yang pertama dari organisasi agama Kristen yang bekerja dan mengembangkan pekerjaan perawatan à perawat penunjang rumah yang pertama.
Philantrop
Philantrop à laki-laki dan wanita yang menjauhkan diri dari keramaian dunia dan berkumpul dalam satu tempat-monastic (laki-laki = monk; wanita = non)
3 wanita yang berjasa Morcella, Febicla, Paula

Permulaan rumah sakit.
Agama Kristen berkembang di Roma, zaman pemerintahan constantyn yang agung (tahun 325).
à Mendirikan bangunan/tempat khusus untuk menampung orang terlantar orang sakit yang memerlukan pertolongan dan perawatan à xenodocheian = rumah tahu (xeno = tamu) dalam bahasan latin tamu; hospes à "Hospital"/rumah sakit
Monastic hospital
Adalah gabungan antara hospital/xenodochoion dnegan monastery. Disini orang yang sakit dirawat oleh non (wanita) dimana monastic hospital yang terkenal didirikan pada tahun 559, mempunyai kurang lebih 200 non. Bentuk dari monastic hospital :
- Bangsal untuk merawat orang sakit
- Bangunan untuk orang yang perlu pertolonga, orang cacat, miskin, yatim piatu
- Bangunan tempat tabib dan tempat monk-monk dan non
- Pekerjaan perawatan dikerjakan oleh non-non

B. Penyebaran agama
Pada permulaan masehi terjadi penyebaran agama kristen di Eropa. Hal ini berdampak positif terhadap perkembangan keperawatan. Kemajuan ini terlihat pada zaman pemerintahan Lord Constandne yaitu dengan :
à XENODHOECIN atau HOSPES (penampungan orang yang membutuhkan pertolongan terutama orang yang menderita sakit)
à Mendirikan Rumah Sakit terkenal di Roma Yaitu MONASTIC HOSPITAL
à Pada pertengahan abad VI Masehi di Asia Barat Daya-Timur Tengah terjadi penyebaran agama Islam. Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam abd VII Masehi yang mencakup Afrika, Asia Tenggara, Asia Barat dan sebagian Eropa yaitu Spanyol dan Turki.
à Pada wakti itu berkembang ilmu pengetahuan : Ilmu pasti, ilmu kimia, ilmu hygiene dan obat-obatan
Kegiatan pelayanan keperawatan berkualitas telah di mulai sejak seorang perawat muslim pertama yaitu Rufaidah pada zaman Nabi Muhammad SAW, yang selalu berusaha memberikan pelayanan terbaiknya bagi yang membutuhkan tanpa membedakan kliennya kaya atau miskin
Berikut ini akan lebih dijelaskan tentang sejarah perkembangan keperawatan dimasa Islam dan di Arab Saudi khususnya :
1. Masa Penyebaran Islam/the Islamic period (570-632)
Perkembangan keperawatan masa ini, sejalan dengan perang kaum muslimin/Jihad (holy wars), memberikan gambaran keperawatan di masa ini. System kedokteran mengenai pengobatan lebih dilakukan dnegan ke rumah pasien dengan diberikannya resep oleh dokter. Dalam periode ini dikenal seorang perawat yang bersama Nabi Muhammad SAW yaitu Rufaidah binti Sa'ad / Rufaidah Al-Asamiya
2. Masa setelah nabi/post-prophetic era (632-1000M)
Sejarah tentang keperawatan setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW jarang sekali. Dokumen yang ada lebih didominasi oleh kedokteran dimasa itu. Dr. Al-Razi yang digambarkan sebagai seorang pendidik, dan menjadi pedoman yang juga menyediakan pelayanan keperawatan. Dia menulis dua karangan tentang "The reason why some persons and the common people leave a physician even if he is clever" dan "A clever physician does not have power to heal all diseases, for that is not within the realm of possibility". Dimasa ini ada perawat diberi nama "Al Asiyah"
3. Masa Late to Middle Ages (1000-1500 M)
Dimasa ini Negara-negara Arab membangun RS dengan baik dan mengenalkan perawatan orang sakit. Ada gambaran unik di RS yang tersebar dalam peradaban Islam dan banyak dianut5 RS modern saat ini hingga sekarang, yaitu pemisahan antara ruang pasien laki-laki dan wanita, serta perawat wanita merawat pasien wanita dan perawat laki-laki, hanya merawat pasien laki-laki
4. Masa Modern (1500-sekarang) Early leaders in nursing's development
Masa ini ditandai dengan banyaknya ekspatriat asing (perawat asing dari eropa), Amerika dan Australia, India, Philipina) yang masuk dan bekerja di RS dinegara-negara Timur tengah. Dimasa ini ada seorang perawat Timur Tengah bernama Lutfiyyah Al-Khateeb, seorang perawat bidan Sauid pertama yang mendapatkan Diploma Keperawatan di Kairo dan kembali ke negeranya.
Keperawatan Islam masa kini dan mendatang
Dr. H Arif Muhammad dalam seminar perawat rohani Islam di Akper Aisyiyah, Bandung 31 Agustus 2004 mengatakan bahwa masalah sehat maupun sakit adalah alami sebagai ujian dari Allah SWT, hingga manusia tidak akan bisa terbebas dari penyakit. Sehat kerap kali membuat orang lupa dan lalai baik dalam melaksanakan perintah Allah maupun mensyukuri nikmat sehat
Tugas sekorang perawat, Menurut Dr. H. Arif, tugas perawat adalah untuk menekankan agar pasien tidak berputus asa apalagi menyatakan tidak memiliki harapan hidup lagi.
Pada permulaan abad XVI orientasi masyarakat berubah dari orientasi agama menjadi orientasi pada kekuasaan. Sehingga banyak terjadi perang, eksplorasi kekayaan alam (semangat kolonialisme), akibatnya gereja ditutup, tempat ibadan ditutup

C. Perang
à Adanya perang berdampak positif bagi keperawatan oleh karena banyaknya korban perang maka kebutuhan tenaga perawat sangat tinggi.
à Perang salib
Banyaknya sukarelawan dijadikan perawat yang terdiri orde-orde agama, para wanita yang mengikuti suami ke medan perang. Pengaruh perang salib terhadap keperawtan adalah mulai dikenal konsep P3K. keberadaan perawat mulai dibutuhkan dalam ketentraman dan timbul peluang kerja bagi perawat dibidang sosial.

1. Hotel Dieu Di Lion
Perawat diambil dari mantan wanita jalanan atau wanita yang telah bertaubat
2. Hotel Dieu di Paris
Perawat diambil dari orde-orde agama sesudah revolusi perancis orde agama dihapuskan dan pekerjaan perawat digantikan oleh orang-orang bebas yang tidak terikat pada agama. Pelopor perawat yang terkenal di rumah sakit ini adalah GENEVIEVE BOUZUET
3. ST. Thomas Hospital
Didirikan pada tahun 1123 M, dirumah sakit inilah FLORENCE NIGHTINGALE memulai karirnya memperbaharui keperawatan.
Pada awal abad XIX reformasi sosial masyarakat merubah peran perawat dan wanita secara umum. Perawat mulai dipercaya banyak orang. Contohnya adalah FLORENCE Nightingale yang menjadi pelopor keperawatan dunia.

Florencen Nightingale
Lahir tahun 1820 dari keluarga kaya raya dan terhormat meniti karirnya dirumah skait ST. Thomas Hospital ditentang keras oleh keluarganya. Ia diterima mengikuti kursus pendidikan perawat pada usia 31 tahun. Ditunjuk oleh pemerintahan inggris untuk menata asuhan keperawatan rumah sakit militer di turki memberi peluang baginya untuk meraih prestasi (Taylor. C, 1989)
Sesudah perang krim Florence nightingale kembali ke Inggris mempelopori berdirinya sekolah-sekolah perawat modern tahun 1840
v Kontribusi Florence Nightingale
a. Menetapkan standar manajemen rumah sakit
b. Menegaskan bahwa nutrisi merupakan bagian penting dari asuhan keperawtan
c. Meyakinkan bahwa akupasional merupakan suatu terapi bagi orang sakit
d. Mengidentifikasi kebutuhan personal pasien dan peran perawat untuk memenuhinya
e. Mengemdbangkan standar okupasi bagi pasien wanita
f. Mengembangkan pendidikan keperawatan
g. Menetapkan 2 komponen keperawatan yaitu kesehatan dan penyakit
h. Meyakinkan bahwa keperawatan berdiri sendiri dan berbeda dnegan rofesi kedokteran.
i. Menekankan kebutuhan pendidikan lanjut bagi perawat

Sejarah perkembangan keperawatan di Indonesia
Perkembangan keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi social dan ekonomi yaitu penjajahan pemerintahan colonial Belanda, Inggris dan Jepang serta situasi pemerintahan Indonesia setelah Indonesia merdeka
v Dibedakan atas :
1. Masa sebelum kemerrdekaan
§ Masa penjajahan belanda I
Pada masa ini perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut VELPLEGEK dengan sebutan zieken oppaser sebagai penjaga rumah sakit. usaha pemerintahan Belanda dibidang kesehatan adalah :
ý Mendirikan rumah sakit I Binnen Hospital di Jakarta pada tahun 1799
ý Mendirikan rumah sakit II Butten Hospital
ý Membentuk dinas kesehatan tentara (military gezond herds dients)
ý Membentu Dinas Kesehatan Rakyat (Burgerlijke gezandherds dienst)
§ Zaman penjajahan Inggris
Gubernur jendral Rafles sangat memperhatikan rakyat semboyan :Kesehatan adalah milik manusia. Usaha-usahanya dibidang kesehatan :
ý Pencacaran secara umum
ý Membenahi cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
ý Memperhatikan kesehatan pada para tawanan
§ Zaman penjajahan Jepang
Menyebabkan perkembangan keperawatan mengalami kemunduran yang juga merupakan zaman kegelapan dunia keperawatan di Indonesia. Kemunduran-kemunduran ini terlihat pada
à pekerjaan perawat dikerjakan oleh orang-orang yang tidak terdidik,
à Pimpinan RS diambil alih oleh orang-orang jepang,
à Obat-obatan sangat kurang
à Wabah penyakit terjadi dimana-mana.
§ Zaman kemerdekaan
Usaha-usaha dibidang kesehatan tahun 1949 mulai dibangun rumah skit dan balai kesehatn. Tahun 1952 mulai didirikan sekolah perawat yaitu sekolah guru perawat dan sekolah perawat setingkat SLTP tahun 1962 mulai didirikan pendidikan keperawatan professional.

v Tahun 1962-sekarang
Keperawatan mulai berkembang dengan pesat
Tahun 1962 mulai banyak berdiri akademi keperawatan (AKPER) tahun 1985 program studi ilmu keperawatan (PSIK) diselenggarakan oleh fakultas kedokteran universitas Indonesia lulusan I tahun 1988
Dampak : Meningkatkan pelayanan keperawatan, pendekatan proses keperawatan dan meningkatkan peran dan fungsi perawat.

Keperawatan penyakit jiwa di Indonesia
Tahun 1800 pasien jiwa sudah dikumpulkan di bangsal-bangsal dan perawatannya bersifat penjagaan. RS jiwa didirikan pertama kali tahun 1875 di Cilandak Bogor dnegan kapasitas 400 orang. Rumah sakit jiwa kedua di Lawang tahun 1894 dengan kapasitas 3300 pasien. Rumah sakit jiwa ketiga RSJ Prof. Dr. Soeroyo di magelang tahun 1923 dengan kapasitas 1400 pasien.
Pendidikan keperawatan jiwa baru dibuka bulan September 1940 di bogor dengan kursus. Saat ini perawatan jiwa diselenggarakan secara modern. Dibangsal-bangsal, pengobatan dengan shock terapi, menggunakan obat-obat tidur dnegan musik, olah raga dan rekreasi.
Konteks keperawatan sendiri banyak dipengaruhi oleh sejarah keperawatan dalam Islam, budaya dan kepercayaan di Arab keyakinan akan kesehatan dari sudut pandang Islam (Islamic health belief) dan nilai-nilai profesi yang diperoleh dari pendidikan keperawatan. Tidak seperti pandangan keperawatan di Negara barat, keyakinan akan spiritual Islam tercermin dalam budaya mereka.
Di Indonesia mungkin hal serupa juga terjadi tinggal bagaimana keperawatan dan islam berkembang sejalan dalam harmoni percepatan tuntutan asuhan keperawatan, kompleksitas penyakit, perkembangan teknologi kesehatan dan informatika kesehatan agar tetap mengenang dan menteladani sejarah perkembangan keperawatan dimulai oleh Rufaidah binti Sa'ad

@import url(http://www.google.com/cse/api/branding.css);




Search:
February
5
Sejarah & perkembangan keperawatan di indonesia dan dunia
Posted by ivan . Published on 05 February 2010, No Comments Received
Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala (Primitive Culture) sampai pada munculnya Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan yang berasal dari Inggris.
Perkembangan keperwatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia.
Perkembangan keperawatan diawali pada :
1. Zaman Purbakala (Primitive Culture)
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri (tercermin pada seorang ibu). Harapan pada awal perkembangan keperawatan adalah perawat harus memiliki naluri keibuan (Mother Instinc). Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke zaman dimana orang masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistic yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini dikenal dengan nama Animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan karena kekuatan alam/pengaruh gaib seperti batu-batu, pohon-pohon besar dan gunung-gunung tinggi.
Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewa dimana pada masa itu mereka menganggap bahwa penyakit disebabkan karena kemarahan dewa, sehingga kuil-kuil didirikan sebagai tempat pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhan di kuil tersebut. Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubah dengan adanya Diakones & Philantrop, yaitu suatu kelompok wanita tua dan janda yang membantu pendeta dalam merawat orang sakit, sejak itu mulai berkembanglah ilmu keperawatan.
2. Zaman Keagamaan
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritual dimana seseorang yang sakit dapat disebabkan karena adanya dosa/kutukan Tuhan. Pusat perawatan adalah tempat-tempat ibadah sehingga pada waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib yang mengobati pasien. Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanya membantu dan bekerja atas perintah pemimpin agama.
3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani, dimana pada saat itu banyak terbentuk Diakones yaitu suatu organisasi wanita yang bertujuan untuk mengunjungiorang sakit sedangkan laki-laki diberi tugas dalam memberikan perawatan untuk mengubur bagi yang meninggal.
Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikan Xenodhoecim atau hospes yaitu tempat penampungan orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan. Pada zaman ini berdirilah Rumah Sakit di Roma yaitu Monastic Hospital.
4. Pertengahan abad VI Masehi
Pada abad ini keperawatan berkembang di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah, seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.
Abad VII Masehi, di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti Ilmu Pasti, Kimia, Hygiene dan obat-obatan. Pada masa ini mulai muncul prinsip-prinsip dasar keperawatan kesehatan seperti pentingnya kebersihan diri, kebersihan makanan dan lingkungan. Tokoh keperawatan yang terkenal dari Arab adalah Rufaidah.
5. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dari agama menjadi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan dan semangat kolonial. Gereja dan tempat-tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini digunakan oleh orde-orde agama untuk merawat orang sakit. Dengan adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya bagi keperawatan adalah berkurangnya tenaga perawat. Untuk memenuhi kurangnya perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobat bekerja sebagai perawat. Dampak positif pada masa ini, dengan adanya perang salib, untuk menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela sebagai perawat, mereka terdiri dari orde-orde agama, wanita-wanita yang mengikuti suami berperang dan tentara (pria) yang bertugas rangkap sebagai perawat.
Pengaruh perang salib terhadap keperawatan :
a. Mulai dikenal konsep P3K
b. Perawat mulai dibutuhkan dalam ketentaraan sehingga timbul peluang kerja bagi perawat dibidang sosial.
Ada 3 Rumah Sakit yang berperan besar pada masa itu terhadap perkembangan keperawatan :
1. Hotel Dieu di Lion
Awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh bekas WTS yang telah bertobat. Selanjutnya pekerjaan perawat digantikan oleh perawat terdidik melalui pendidikan keperawatan di RS ini.
2. Hotel Dieu di Paris
Pekerjaan perawat dilakukan oleh orde agama. Sesudah Revolusi Perancis, orde agama dihapuskan dan pekerjaan perawat dilakukan oleh orang-orang bebas. Pelopor perawat di RS ini adalah Genevieve Bouquet.
3. ST. Thomas Hospital (1123 M)
Pelopor perawat di RS ini adalah Florence Nightingale (1820). Pada masa ini perawat mulai dipercaya banyak orang. Pada saat perang Crimean War, Florence ditunjuk oleh negara Inggris untuk menata asuhan keperawatan di RS Militer di Turki. Hal tersebut memberi peluang bagi Florence untuk meraih prestasi dan sekaligus meningkatkan status perawat. Kemudian Florence dijuluki dengan nama “ The Lady of the Lamp”.
6. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun 1840 Inggris mengalami perubahan besar dimana sekolah-sekolah perawat mulai bermunculan dan Florence membuka sekolah perawat modern. Konsep pendidikan Florence ini mempengaruhi pendidikan keperawatan di dunia.
Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan a. l :
a. Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.
b. Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakit
c. Manajemen RS
d. Mengembangkan pendidikan keperawatan
e. Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteran
f. Pendidikan berlanjut bagi perawat.
Sejarah dan Perkembangan Keperawatan di Indonesia
Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit.
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda pada masa ini adalah membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk kepentingan tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain :
- pencacaran umum
- cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
- kesehatan para tahanan
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yaitu RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tahun 1816 – 1942 berdiri rumah sakit – rumah sakit hampir bersamaan yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. ST Carollus Jakarta, RS. ST. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan dunia keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas keperawatan dilakukan oleh orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh Jepang, akhirnya terjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah sakit dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan sekolah perawat setimgkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu Keperawatan ) yang merupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia. Tahun 1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul PSIK-PSIK baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.
http://perawattegal.wordpress.com/2009/09/09/sejarah-perkembangan-keperawatan-di-dunia/




ETIK & MORAL TENAGA KESEHATAN
PERAN DAN FUNGSI PERAWAT »
Sejarah & Perkembangan Keperawatan di Dunia
Ditulis oleh joe di/pada 09/09/2009

Sejarah keperawatan di dunia diawali pada zaman purbakala (Primitive Culture) sampai pada munculnya Florence Nightingale sebagai pelopor keperawatan yang berasal dari Inggris.
Perkembangan keperwatan sangat dipengaruhi oleh perkembangan struktur dan kemajuan peradaban manusia.
Perkembangan keperawatan diawali pada :
1. Zaman Purbakala (Primitive Culture)
Manusia diciptakan memiliki naluri untuk merawat diri sendiri (tercermin pada seorang ibu). Harapan pada awal perkembangan keperawatan adalah perawat harus memiliki naluri keibuan (Mother Instinc). Dari masa Mother Instic kemudian bergeser ke zaman dimana orang masih percaya pada sesuatu tentang adanya kekuatan mistic yang dapat mempengaruhi kehidupan manusia. Kepercayaan ini dikenal dengan nama Animisme. Mereka meyakini bahwa sakitnya seseorang disebabkan karena kekuatan alam/pengaruh gaib seperti batu-batu, pohon-pohon besar dan gunung-gunung tinggi.
Kemudian dilanjutkan dengan kepercayaan pada dewa-dewa dimana pada masa itu mereka menganggap bahwa penyakit disebabkan karena kemarahan dewa, sehingga kuil-kuil didirikan sebagai tempat pemujaan dan orang yang sakit meminta kesembuhan di kuil tersebut. Setelah itu perkembangan keperawatan terus berubah dengan adanya Diakones & Philantrop, yaitu suatu kelompok wanita tua dan janda yang membantu pendeta dalam merawat orang sakit, sejak itu mulai berkembanglah ilmu keperawatan.
2. Zaman Keagamaan
Perkembangan keperawatan mulai bergeser kearah spiritual dimana seseorang yang sakit dapat disebabkan karena adanya dosa/kutukan Tuhan. Pusat perawatan adalah tempat-tempat ibadah sehingga pada waktu itu pemimpin agama disebut sebagai tabib yang mengobati pasien. Perawat dianggap sebagai budak dan yang hanya membantu dan bekerja atas perintah pemimpin agama.
3. Zaman Masehi
Keperawatan dimulai pada saat perkembangan agama Nasrani, dimana pada saat itu banyak terbentuk Diakones yaitu suatu organisasi wanita yang bertujuan untuk mengunjungiorang sakit sedangkan laki-laki diberi tugas dalam memberikan perawatan untuk mengubur bagi yang meninggal.
Pada zaman pemerintahan Lord-Constantine, ia mendirikan Xenodhoecim atau hospes yaitu tempat penampungan orang-orang sakit yang membutuhkan pertolongan. Pada zaman ini berdirilah Rumah Sakit di Roma yaitu Monastic Hospital.
4. Pertengahan abad VI Masehi
Pada abad ini keperawatan berkembang di Asia Barat Daya yaitu Timur Tengah, seiring dengan perkembangan agama Islam. Pengaruh agama Islam terhadap perkembangan keperawatan tidak lepas dari keberhasilan Nabi Muhammad SAW menyebarkan agama Islam.
Abad VII Masehi, di Jazirah Arab berkembang pesat ilmu pengetahuan seperti Ilmu Pasti, Kimia, Hygiene dan obat-obatan. Pada masa ini mulai muncul prinsip-prinsip dasar keperawatan kesehatan seperti pentingnya kebersihan diri, kebersihan makanan dan lingkungan. Tokoh keperawatan yang terkenal dari Arab adalah Rufaidah.
5. Permulaan abad XVI
Pada masa ini, struktur dan orientasi masyarakat berubah dari agama menjadi kekuasaan, yaitu perang, eksplorasi kekayaan dan semangat kolonial. Gereja dan tempat-tempat ibadah ditutup, padahal tempat ini digunakan oleh orde-orde agama untuk merawat orang sakit. Dengan adanya perubahan ini, sebagai dampak negatifnya bagi keperawatan adalah berkurangnya tenaga perawat. Untuk memenuhi kurangnya perawat, bekas wanita tuna susila yang sudah bertobat bekerja sebagai perawat. Dampak positif pada masa ini, dengan adanya perang salib, untuk menolong korban perang dibutuhkan banyak tenaga sukarela sebagai perawat, mereka terdiri dari orde-orde agama, wanita-wanita yang mengikuti suami berperang dan tentara (pria) yang bertugas rangkap sebagai perawat.
Pengaruh perang salib terhadap keperawatan :
a. Mulai dikenal konsep P3K
b. Perawat mulai dibutuhkan dalam ketentaraan sehingga timbul peluang kerja bagi perawat dibidang sosial.
Ada 3 Rumah Sakit yang berperan besar pada masa itu terhadap perkembangan keperawatan :
1. Hotel Dieu di Lion
Awalnya pekerjaan perawat dilakukan oleh bekas WTS yang telah bertobat. Selanjutnya pekerjaan perawat digantikan oleh perawat terdidik melalui pendidikan keperawatan di RS ini.
2. Hotel Dieu di Paris
Pekerjaan perawat dilakukan oleh orde agama. Sesudah Revolusi Perancis, orde agama dihapuskan dan pekerjaan perawat dilakukan oleh orang-orang bebas. Pelopor perawat di RS ini adalah Genevieve Bouquet.
3. ST. Thomas Hospital (1123 M)
Pelopor perawat di RS ini adalah Florence Nightingale (1820). Pada masa ini perawat mulai dipercaya banyak orang. Pada saat perang Crimean War, Florence ditunjuk oleh negara Inggris untuk menata asuhan keperawatan di RS Militer di Turki. Hal tersebut memberi peluang bagi Florence untuk meraih prestasi dan sekaligus meningkatkan status perawat. Kemudian Florence dijuluki dengan nama “ The Lady of the Lamp”.
6. Perkembangan keperawatan di Inggris
Florence kembali ke Inggris setelah perang Crimean. Pada tahun 1840 Inggris mengalami perubahan besar dimana sekolah-sekolah perawat mulai bermunculan dan Florence membuka sekolah perawat modern. Konsep pendidikan Florence ini mempengaruhi pendidikan keperawatan di dunia.
Kontribusi Florence bagi perkembangan keperawatan a. l :
a. Nutrisi merupakan bagian terpenting dari asuhan keperawatan.
b. Okupasi dan rekreasi merupakan terapi bagi orang sakit
c. Manajemen RS
d. Mengembangkan pendidikan keperawatan
e. Perawatan berdiri sendiri berbeda dengan profesi kedokteran
f. Pendidikan berlanjut bagi perawat.
Sejarah dan Perkembangan Keperawatan di Indonesia
Sejarah dan perkembangan keperawatan di Indonesia dimulai pada masa penjajahan Belanda sampai pada masa kemerdekaan.
1. Masa Penjajahan Belanda
Perkembangam keperawatan di Indonesia dipengaruhi oleh kondisi sosial ekonomi yaitu pada saat penjajahan kolonial Belanda, Inggris dan Jepang. Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, perawat berasal dari penduduk pribumi yang disebut Velpeger dengan dibantu Zieken Oppaser sebagai penjaga orang sakit.
Tahun 1799 didirikan rumah sakit Binen Hospital di Jakarta untuk memelihara kesehatan staf dan tentara Belanda. Usaha pemerintah kolonial Belanda pada masa ini adalah membentuk Dinas Kesehatan Tentara dan Dinas Kesehatan Rakyat. Daendels mendirikan rumah sakit di Jakarta, Surabaya dan Semarang, tetapi tidak diikuti perkembangan profesi keperawatan, karena tujuannya hanya untuk kepentingan tentara Belanda.
2. Masa Penjajahan Inggris (1812 – 1816)
Gurbernur Jenderal Inggris ketika VOC berkuasa yaitu Raffles sangat memperhatikan kesehatan rakyat. Berangkat dari semboyannya yaitu kesehatan adalah milik manusia, ia melakukan berbagai upaya untuk memperbaiki derajat kesehatan penduduk pribumi antara lain :
- pencacaran umum
- cara perawatan pasien dengan gangguan jiwa
- kesehatan para tahanan
Setelah pemerintahan kolonial kembali ke tangan Belanda, kesehatan penduduk lebih maju. Pada tahun 1819 didirikan RS. Stadverband di Glodok Jakarta dan pada tahun 1919 dipindahkan ke Salemba yaitu RS. Cipto Mangunkusumo (RSCM). Tahun 1816 – 1942 berdiri rumah sakit – rumah sakit hampir bersamaan yaitu RS. PGI Cikini Jakarta, RS. ST Carollus Jakarta, RS. ST. Boromeus di Bandung, RS Elizabeth di Semarang. Bersamaan dengan itu berdiri pula sekolah-sekolah perawat.
3. Zaman Penjajahan Jepang (1942 – 1945)
Pada masa ini perkembangan keperawatan mengalami kemunduran, dan dunia keperawatan di Indonesia mengalami zaman kegelapan. Tugas keperawatan dilakukan oleh orang-orang tidak terdidik, pimpinan rumah sakit diambil alih oleh Jepang, akhirnya terjadi kekurangan obat sehingga timbul wabah.
4. Zaman Kemerdekaan
Tahun 1949 mulai adanya pembangunan dibidang kesehatan yaitu rumah sakit dan balai pengobatan. Tahun 1952 didirikan Sekolah Guru Perawat dan sekolah perawat setimgkat SMP. Pendidikan keperawatan profesional mulai didirikan tahun 1962 yaitu Akper milik Departemen Kesehatan di Jakarta untuk menghasilkan perawat profesional pemula. Pendirian Fakultas Ilmu Keperawatan (FIK) mulai bermunculan, tahun 1985 didirikan PSIK ( Program Studi Ilmu Keperawatan ) yang merupakan momentum kebangkitan keperawatan di Indonesia. Tahun 1995 PSIK FK UI berubah status menjadi FIK UI. Kemudian muncul PSIK-PSIK baru seperti di Undip, UGM, UNHAS dll.
















Trend Current issue dan kecenderungan dalam keperawatan jiwa
Trend atau current issue dalam keperawatan jiwa adalah masalah-masalah yang sedang hangat dibicarakan dan dianggap penting. Masalah-masalah tersebut dapat dianggap ancaman atau tantangan yang akan berdampak besar pada keperawatan jiwa baik dalam tatanan regional maupun global. Ada beberapa tren penting yang menjadi perhatian dalam keperawatan jiwa di antaranya adalah sebagai berikut:
• Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
• Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
• Kecenderungan dalam penyebab gangguan jiwa
• Kecenderungan situasi di era global
• Globalisasi dan perubahan orientasi sehat
• Kecenderungan penyakit jiwa
• Meningkatnya post traumatik sindrom
• Meningkatnya masalah psikososial
• Trend bunuh diri pada anak
• Masalah AIDS dan NAPZA
• Pattern of parenting
• Perspektif life span history
• Kekerasan
• Masalah ekonomi dan kemiskinan
A. Kesehatan jiwa dimulai masa konsepsi
Dahulu bila berbicara masalah kesehatan jiwa biasanya dimulai pada saat onset terjadinya sampai klien mengalami gejala-gejala. Di Indonesia banyak gangguan jiwa terjadi mulai pada usia 19 tahun dan kita jarang sekali melihat fenomena masalah sebelum anak lahir. Perkembangan terkini menyimpulkan bahwa berbicara masalah kesehatan jiwa harus dimulai dari masa konsepsi malahan harus dimulai dari masa pranikah.banyak penelitian yang menunjukkan adanya keterkaitan masa dalam kandungan dengan kesehatan fisik dan mental seseorang di masa yang akan datang. Penelitian-penelitian berikut membuktikan bahwa kesehatan mental seseorang dimulai pada masa konsepsi.
Van de carr (1979) menemukan bahwa seorang pemusik yang hebat terlahir dari seorang ayah yang menggeluti musik, pola-polanya sudah dipelajari sejak dalam kandungan pada saat bayi belum lahir yang sudah terbiasa terpapar oleh suara-suara komposisi lagu yang teratur.
Marc Lehrer, seorang ahli dari university of California menemukan bahwa dari 3000 bayi yang diteliti serta diberikan stimulasi dini berupa suara, musik, cahaya, getaran dan sentuhan, ternyata setelah dewasa memiliki perkembangan fisik, mental dan emosi yang lebih baik. Kemudian Craig Ramey, meneliti bahwa stimulasi dini, bonding and attachment pada bayi baru lahir dapat meningkatkan inteligensi bayi antara 15-30%.
Marion cleves meneliti tentang tikus-tikus yang hamil. Beberapa tikus hamil yang diberikan stimulasi aliran listrik rendah, cahaya, suara dan jebakan-jebakan menunjukkan banyaknya percabangan dendrite sebagai prasyarat kecerdasan. Setelah dibandingkan dengan kelompok control ternyata menunjukkan perbedaan yang signifikan. Demikian juga penelitian-penelitian yang dilakukan di hospital Bangkok Thailand, pada bayi-bayi yang mendapat prenatal care yang baik dan stimulasi sejak dalam kandungan. Ternyata bayi tersebut mampu berbicara, berkomunikasi, menirukan suara, menyebut kata pertama dan senyum. Hal ini didukung oleh penemuan beatriz manrique (presiden the Venezuela ministry for the development of intelligence) dalam penelitian pada 600 bayi, ternyata stimulasi sejak dalam kandungan dapat menigkatkan kemampuan adaptasi, attachment, dan bahasa.
Demikian juga dengan kaitan antara masa kehamilan dengan skizofrenia. Skizofrenia sering dianggap sebagai penyakit kronis dan tidak dapat disembuhkan. Anggapan tersebut keliru, karena dengan pengobatan yang baik banyak penderita yang dapat kembali ke masyarakat dan berfungsi optimal. Salah satu kendala dalam mengobati skizofrenia optimal adalah keterlambatan penderita datang ke klinik pengobatan. Timbul pertanyaan, mungkinkah penyakit ini dideteksi sedini mungkin dan dicegah perkembangannya? Tahun 1988, Mednick dkk dalam penelitian epidemiologi melaporkan penemuan yang menarik, yaitu hubungan antara skizofrenia dengan infeksi virus dalam kandungan. Laporannya didasarkan atasepidemi virus influenza pada tahun 1957 di kota Helsinki.epidemi ini sangat spesial mengingat pertama, terjadinya dalam kurun waktu yang pendek, dimulai pada tanggal 8 oktober dan berakhir 5 minggu kemudian 14 November. Kedua, epidemi ini sangat menyebar. Hampir dua pertiga penduduk kota ini terkena infeksi dalam berbagai tingkatan. Kondisi ini memungkinkan dilakukannya evaluasi efek jangka panjang.
Mednick membuktikan bahwa mereka yang pada saat epidemi sedang berada pada trimester dua dalam kandungan mempunyai resiko yang leih tinggi untuk menderita skizofrenia di kemudian hari. Penemuan penting ini menunjukkan bahwa lingkungan luar yang terjadi pada waktu yang tertentu dalam kandungan dapat meningkatkan risiko menderita skizofrenia.
Mednick menghidupkan kembali teori perkembangan neurokognitif, yang menyebutkan bahwa pada penderita skizofrenia terjadi kelainan perkembangan neurokognitif sejak dalam kandungan. Beberapa kelainan neurokognitif seperti berkurnagnya kemampuan dalam mempertahankan perhatian, membedakan suara rangsang yang berurutan, working memory, dan fungsi-fungsi eksekusi sering dijumpai pada penderita skizofrenia.
Dipercaya kelainan neurokognitif di atas didapat sejak dalam kandungan dan dalam kehidupan selanjutnya diperberat oleh lingkungan, misalnya, tekanan berat dalam kehidupan, infeksi otak, trauma otak, atau terpengaruh zat-zat yang mempengaruhi fungsi otak seperti narkoba. Kelainan neurokognitif yang telah berkembang ini menjadi dasar dari gejala-gejala skizofrenia seperti halusinasi, kekacauan proses pikir, waham/delusi, perilaku yang aneh dan gangguan emosi.
B. Trend peningkatan masalah kesehatan jiwa
Masalah jiwa akan meningkat di era globalisasi. Sebagai contoh jumlah penderita sakit jiwa di propinsi lain dan daerah istimewa Yogyakarta terus meningkat. Penderita tidak lagi didominasi masyarakat kelas bawah. Kalangan pejabat dan masyarakat lapisan menengah ke atas, juga tersentuh gangguan psikotik dan depresif.
Kecenderungan itu tampak dari banyaknya pasien yang menjalani rawat inap maupun rawat jalan di RS Grhasia Yogyakarta dan RS Sardjito Yogyakarta. Pada dua rumah sait tersebut klien gangguan jiwa terus bertambah sejak tahun 2002 lalu. Pada tahun 2003 saja jumlahnya mencapai 7.000 orang, sedang pada 2004 naik menjadi 10.610 orang. Sebagian dari klien menjalani rawat jalan, dank lien yang menjalani rawat inap mencapai 678 orang pada 2003 dan meningkat menjadi 1.314 orang pada tahun 2004. yang menarik, klien gangguan jiwa sekarang tidak lagi didominasi kalangan bawah, tetapi kalangan mahasiswa, pegawai negeri sipil, pegawai swasta, dan kalangan professional juga ada diantaranya. Klien gangguan jiwa dari kalangan menengah ke atas, sebagian besar disebabkan tidak mampu mengelola stress dan ada juga kasus mereka yang mengalami post power syndrome akibat dipecat atau mutasi jabatan.
Kepala staf medik fungsional jiwa RS Sardjito Yogyakarta, Prof.Dr. Suwadi mengatakan, pada tahun 2003 jumlah klien gangguan jiwa yang dirawat inap sebanyak 371 pasien. Tahun 2004 jumlahnya meningkat menjadi 433 pasien. Jumlah itu, belum termasuk klien rawat jalan di poliklinik yang sehari-hari rata-rata 25 pasien. Demikian juga di propinsi Sumatera Selatan, gangguan kejiwaan dua tahun terakhir ini menunjukkan kecenderungan peningkatan. Beban hidup yang semakin berat, diperkirakan menjadi salah satu penyebab bertambahnya klien gangguan jiwa. Kepala Rumah Sakit Jiwa (RSJ) daerah Propinsi Sumatera Selatan mengungkapkan: setahun ini jumlah klien gangguan jiwa yang ditangani di RSJ mengalami peningkatan 10-15% dibandingan dengan tahun sebelumnya. Kecenderungannya, kasus-kasus psikotik tetap tinggi, disusul kasus neurosis yang cenderung meningkat, rekam medis di RSJ Sumsel mencatat, jumlah klien yang dirawat meningkat dari jumlah 4.101 orang (2003) menjadi 4.384 orang (2004). Dari keseluruhan jumlah klien yang dirawat selama 2004, sebanyak 1.872 pasien diantaranya dirawat inap di RSJ itu. Sebanyak 1.220 orang adalah sebagai pasien lama ang sebelumnya pernah dirawat. Kondisi lingkungan yang semakin keras, dapat menjadi penyebab meningkatnya jumlah masyarakat yang mengalami gangguan kejiwaan. Apalagi untuk individu yang rentan terhadap kondisi lingkungan dengan timgkat kemiskinan terlalu menekan.
Kasus-kasus gangguan kejiwaan yang ditangani oleh para psikiater dan dokter di RSJ menunjukkan bahwa penyakit jiwa tidak mengenal baik strata sosial maupun usia. Ada orang kaya yang mengalami tekanan hebat, setelah kehilangan semua harta bendanya akibat kebakaran. Selain itu kasus neurosis pada anak dan remaja, juga menunjukkan kecenderungan meningkat. Neurosis adalah bentuk gangguan kejiwaan yang mengakibatkan penderitanya mengalami stress, kecemasan yang berlebihan, gangguan tidur, dan keluhan penyakit fisik yang tidak jelas penyebabnya. Neurosis menyebabkan merosotnya kinerja individu. Mereka yang sebelumnya rajin bekerja, rajin belajar menjadi lesu, dan sifatnya menjadi emosional. Melihat kecenderungan penyakit jiwa pada anak dan remaja kebanyakan adalah kasus trauma fisik dan nonfisik. Trauma nonfisik bisa berbentuk musibah, kehilangan orang tua, atau masalah keluarga.
Tipe gangguan jiwa yang lebih berat, disebut gangguan psikotik. Klien yang menunjukkan gejala perilaku yang abnormal secara kasat mata. Inilah orang yang kerap mengoceh tidak karuan, dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirinya dan orang lain, seperti mengamuk.
C. Kecenderungan faktor penyebab gangguan jiwa
Terjadinya perang, konflik, lilitan krisis ekonomi berkepanjangan merupakan salah satu pemicu yang memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut data World Health Organization (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius. WHO (2001) menyataan, paling tidak, ada satu dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Sementara itu, menurut Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO wilayah Asia Tenggara, hamper satu per tiga dari penduduk di wilayah ini pernah mengalami gangguan neuropsikiatri. Buktinya, bisa kita cocokkan dan lihat sendiri dari data Survei Kesehatan Rumah Tangga ( SKRT); tahun 1995 saja, di Indonesia diperkirakan sebanyak 264 dari 1.000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa.
Dalam hal ini, Azrul Azwar (Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat DepKes) mengatakan, angka itu menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa di masyarakat yang sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari rasa cemas, depresi, stress, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja samapai skizofrenia.
Bukti lainnya, berdasarkan data statistik, angka penderita gangguan kesehatan jiwa memang mengkhawatirkan. Secara global, dari sekitar 450 juta orang yang mengalami gangguan mental, sekitar satu juta orang diantaranya meninggal karena bunuh diri setiap tahunnya. Angka ini lumayan kecil jika dibandingkan dengan upaya bunuh diri dari para penderita kejiwaan yang mencapai 20 juta jiwa setiap tahunnya.
Adanya gangguan kesehatan jiwa ini sebenarnya disebabkan banyak hal. Namun, menurut Aris Sudiyanto, (Guru Besar Ilmu Kedokteran Jiwa (psikiatri) Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, ada tiga golongan penyebab gangguan jiwa ini. Pertama, gangguan fisik, biologis atau organic. Penyebabnya antara lain berasal dari faktor keturunan, kelainan pada otak, penyakit infeksi (tifus, hepatitis, malaria dan lain-lain), kecanduan obat dan alkohol dan lain-lain. Kedua, gangguan mental, emosional atau kejiwaan. Penyebabnya, karena salah dalam pola pengasuhan (pattern of parenting) hubungan yang patologis di antara anggota keluarga disebabkan frustasi, konflik, dan tekanan krisis. Ketiga, gangguan sosial aau lingkungan. Penyebabnya dapat berupa stressor psikososial (perkawinan, problem orangtua, hubungan antarpersonal dalam pekerjaan atau sekolah, di lingkungan hidup, dalam masalah keuangan, hukum, perkembangan diri, faktor keluarga, penyakit fisik, dan lain-lain).
D. Kecenderungan situasi di era globalisasi
Era globalisasi adalah suatu era dimana tidak ada lagi pembatas antara negara-negara khususnya di bidang informasi, ekonomi, dan politik. Perkembangan IPTEK yang begitu cepat dan perdagangan bebas yang merupakan ciri era ini, berdampak pada semua sector termasuk sektor kesehatan
Dipos




TREND / ISU DIMENSI SPRITUAL DALAM ASUHAN KEPERAWATAN JIWA


Kecepatan informasi dan mobilitas manusia di era modernisasi saat ini begitu tinggi sehingga terjadi hubungan social dan budaya. Hubungan social antar manusia dirasakan menurun akhir – akhir ini, bahkan kadang- kadang hanya sebatas imitasi saja. Padahal bangsa Indonesia yang mempunyai / menjunjung tinggi adat ketimuran sangat memperhatikan hubungan social ini. Dengan demikian kita patut waspada dari kehilangan identitas diri tersebut. Perubahan yang terjadi tadi dapat membuat rasa bingung karena muncul rasa tidak pasti antara moral, norma,nilai – nilai dan etika bahkan juga hokum. Menurut Dadang Hawari ( 1996 ) hal – hal tersebut dapat menyebabkan perubahan psikososial, antara lain : pola hidup social religious menjadi materialistis dan sekuler. Nilai agama dan tradisional diera modern menjadi serba boleh dan seterusnya.
Perubahan – perubahan yang dirasakan dapat mempengaruhi tidak hanya fisik tapi juga mental, seperti yang menjadi standar WHO ( 1984 ) yang dikatakan sehat tidak hanya fisik tetapi juga mental,social dan spiritual. Standar sehat yang disampaikan oleh WHO tersebut dapat menjadi peluang besar bagi perawat untuk berbuat banyak, karena perawat mempunyai kesempatan kontak dengan klien selama 24 jam sehari. Olehnya itu dalam tulisan ini kami bermaksud mebahas tentang dimensi spiritual, dimensi spiritual dalam kesehatan, konsep dalam memberikan asuhan keperawatan spiritual dan proses keperawatan dalam dimensi spiritual.

Pengertian Dimensi Spritual
Spritual menurut New Webster’s Dictionary ( 1981, hal. 1467 ) : spirit berasal dari bahasa latin yaitu spirare. Spirare berarti hembus atau nafas. Spirit ini merupakan bagian yang sangat prinsip dalam hidup manusia. Ia berada dalam jasmani manusia, sebagai jiwa, dan terpisah dari tubuh saat manusia meniggal. Hal tersebut sesuai dengan pengertian spirit dalam kamus bahasa Indonesia ( Dep Dik Bud 1990 ) yang berarti jiwa, sukma atau roh sedangkan spiritual berarti kejiwaan, rohani, mental atau moral.

Spritual oleh Taylor, 1997 adalah segala sesuatu yang digunakan manusia untuk berhubungan dengan sesuatu yang bukan bersifat materi yang memberi kekuatan kehidupan dan kekuatan yang lebih besar. Spiritual digambarkan sebagai bagian dari sesuatu yang datang untuk diketahui, dicintai, dan pelayanan kepada Tuhan, dengan kata lain hubungan tanpa batas, dan pengalaman yang mempunyai kekuatan yang menyeluruh.

Menurut Fish dan Shelly, 1978 ( dari Taylor, dkk,1997 ) kebutuhan spiritual membawahi semua tradisi agama dan bersifat biasa pada semua orang, meliputi kebutuhan akan arti dan tujuan, cinta dan saling berhubungan, saling memaafkan.

Dari semua pengertian diatas spiritual merupakan kebutuhan dari setiap individu, sehingga individu akan puas jika kebutuhan spritualnya terpenuhi. Sebaliknya jika tidak terpenuhi, individu tersebut tidak terpenuhi kebutuhannya secara menyeluruh.

Dimensi spritual dalam kesehatan

Pada prakteknya ilmu pengetahuan dan agama tidak lagi bersifat dikotomis melainkan antara keduanya sudah terintegrasi ( saling menunjang ). Seperti yang dikatakan oleh Albert Einstein, ilmuwan penemu atom, ilmu pengetahuan tanpa agama bagaikan orang buta, tetapi agama tanpa ilmu pengetahuan bagaikan orang lumpuh.

Merujuk dari pentingnya pengetahuan dan agama tersebut untuk jiwa yang sehat banyak penelitian dilakukan di antaranya sebuah penelitian yang mengatakan kelompok yang tidak terganggu jiwanya adalah yang mempunyai agama yang bagus dan sebaliknya. Karl Jung telah menyimpulkan dari analisanya bahwa mereka yang menderita penyakit mental mengalami suatu kekosongan rohani. Terapinya terletak pada siraman keimanan yang kuat.
( Amir Syam,S.Kep,Ns)



Terakhir Diperbaharui ( Rabu, 21 Oktober 2009 04:09 )



Peringatan hari kesehatan jiwa sedunia pada tahun 2008 mengambil tema: “MENJADIKAN KESEHATAN JIWA SEBAGAI PRIORITAS GLOBAL: MENINGKATKAN PELAYANAN KESEHATAN JIWA MELALUI ADVOKASI DAN AKSI MASYARAKAT”. Berdasarkan tema tersebut diharapkan dapat memacu perkembangan keperawatan jiwa dalam rangka mengembangkan pendidikan, pelayanan, riset keperawatan jiwa serta perkembangan organisasi profesi yaitu Ikatan Perawat Kesehatan Jiwa Indonesia (IPKJI) di Indonesia untuk mampu berkompetisi dalam era globalisasi yang sedang berlangsung saat ini.


Langkah IPKJI yang secara rutin menyelenggarakan Konferensi Nasional (KONAS) memiliki nilai strategis dalam mewujdkan Asuhan Keperawatan Kesehatan Jiwa. KONAS telah menjadi suatu forum sharing informasi, inovasi dan edukasi serta komunikasi bagi komunitas keperawatan jiwa di Indonesia yang selanjutnya diharapkan mampu memberikan kontribusi sebesar-besarnya-besarnya dalam upaya mendukung program pemerintah membangun dan meningkatkan derajat kesehatan jiwa masyarakat Indonesia.


Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu propinsi yang strategis dalam melakukan upaya meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa. Kekuatan berupa aset pelayanan dan SDM tenaga keperawatan yang dimiliki oleh Propinsi Kalimantan timur cukup memadai dalam melakukan upaya yang dimaksud. Tenaga keperawatan yang ada di Propinsi Kalimantan Timur memiliki kualifikasi jenjang pendidikan yang bervariasi mulai dari SPR/SPK, D3, S1 dan S2 serta Spesialis Keperawatan. Data kesehatan jiwa yang diperoleh yaitu berdasarkan riset kesehatan dasar menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental emosional bagi penduduk berusia 15 tahun ke atas di Propinsi Kalimantan Timur sebesar 6,9% (Depkes,2007). Hal ini menjadi peluang bagi Propinsi Kalimantan Timur untuk melaksanakan rekomendasi hasil KONAS I – V IPKJI yang bertujuan untuk meningkatkan pelayanan keperawatan kesehatan jiwa di wilayah Kalimantan Timur.

Uraian di atas menjadi pertimbangan mendasar bagi Akademi Keperawatan Pemerintah Propinsi Kalimantan Timur yang bekerjasama dengan PPNI Propinsi Kalimantan Timur untuk melakukan suatu upaya awal dengan melaksanakan kegiatan sosialisasi tren dan isu keperawatan kesehatan jiwa di masyarakat.Kegiatan tersebut dilaksanakan pada tanggal 18 Pebruari 2009 di Akper Pemprop Kaltim Samarinda. Peserta yang hadir sejumlah 30 orang dengan distribusi bahwa 19 orang dari perawat Puskesmas Se- Kotamadya Samarinda, 3 orang dari Akademi Keperawatan di Samarinda 7 orang dari RS Atma Husada Mahakam Samarinda.

Pada kesempatan membuka kegiatan ini, Kadinkes Propinsi Kaltim yang diwakili oleh drg.Suharsono, menyatakan bahwa "kegiatan yang digagas oelh Akper Pemprop Kaltim ini merupakan kegiatan yang sangat positif dalam upaya pelayanan kesehatan jiwa di masyarakat. Drg. Suharsono juga menyampaikan bahwa gangguan jiwa merupakan hal yang sangat penting untuk diperhatikan karena 8,1%DALY artinya produktivitas pasien menurun akibat gangguan jiwa hingga mencapai 8,1%. Selain itu dinyatakan juga bahwa angka gangguan jiwa di Kaltim menurut Riskedas mencapai 1,3% penduduk Kaltim mengalami GANGGUAN JIWA BERAT (Depkes,2007).Dinkes sangat mendukung program pelayanan keperawatan jiwa terutama dari aspek dana yang akan diperuntukkan dalam mengembangkan kesehatan jiwa Kaltim. Pihak Dinas Kesehatan juga mengharapkan bahwa kegiatan ini merupakan embrio untuk pengembangan pelayanan kesehatan jiwa dengan basis masyarakat dan perlu disusun upaya untuk kesinambungannya.

(noviebsuryanto.040309)
Diposkan oleh novie b suryanto sp jiwa di 17.33
Label: Keperawatan jiwa