Sabtu, 06 November 2010

for Bali
• Home |
• YPSB |
• CASA |
• Crisis Center |
• Meditasi Suryani |
• Previous Site |
• Contact
Trauma Salah Satu Penyebab Gangguan Jiwa
Posted by cokyaya on 14 Feb 2009 11:20 am. Filed under Berita.
SEBANYAK 7000 orang di Bali diperkirakan mengalami gangguan jiwa berat yang tidak tertangani. Ini merupakan hasil survei Layanan Hidup Bahagia (LHB) di bawah koordinasi Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Gejalanya menarik diri dari pergaulan, lebih sering berada di kamar, bengong, berbaring atau melamun, emosinya tumpul, mukanya datar tidak berekspresi saat sedih atau sedang tertawa, mengamuk.
Menurut Prof. Dr. dr. L.K. Suryani, Sp.KJ. (K)., Ketua Suryani Institue for Mental Health, banyak warga masyarakat menganggap gangguan jiwa sebagai kutukan Tuhan dan tidak dapat disembuhkan. “Siapa pun dapat terkena gangguan jiwa, orang kaya atau miskin, pejabat atau masyarakat biasa,” ujarnya dalam seminar “Gangguan Skizofrenia”, Sabtu (14/2) di Wantilan DPRD Bali.

Ia mengungkapkan, adanya sebagian penderita gangguan jiwa yang dirantai, dikurung atau dikucilkan. Namun, kenyataannya, kata ahli kejiwaan FK. Unud ini, banyak dari mereka berhasil bangkit dan mampu merasakan indahnya hidup jika ditangani dengan baik.
Menurut Koordinator Wilayah LHB dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ skizofrenia atau lebih dikenal gangguan jiwa mulai muncul akhir masa remaja sampai dewasa muda.
Ia mengungkapkan, satu di antara 100 orang menderita gangguan jiwa. Ada tiga gangguan jiwa yakni fungsi pola berpikir terganggu, fungsi bahasa dan komunikasi terganggu, serta terganggunya fungsi dalam perilaku. Jika diajak mengobrol mereka tidak nyambung, berperilaku aneh, bahkan tidak mengenakan pakaian.
Ia menyebutkan ada dua gejala, positif dan negatif. Pada gejala positif gangguan ini tidak terjadi seketika. Ada proses yang mendahuluinya.
Gejala ini berlangsung sekitar satu bulan. Ciri pertama, mendengar suara-suara atau halusinasi. Ciri kedua, adanya waham yakni keyakinan salah yang terus dipertahankan. “Misalnya dia mengaku yakin sebagai keluarga Presiden Sukarno atau mereka merasa sebagai utusan Tuhan. Mereka berpakaian seperti nabi.
Padahal, sehari-hari tidak pernah bersembahyang,” papar Dokter Spesialis Kejiwaan FK Unud ini.
Gejala negatif seperti penarikan diri, tidak mau bergaul, atau tidak mau masuk sekolah. Ada kesulitan bagi mereka untuk merasakan kesenangan seperti yang tadinya bermain sepak bola, menyanyi, tetapi kini mulai merasakan tidak nyaman.
“Mereka mulai tidak mandi, dan mengalami gangguan tidur, sering bermimpi buruk dan mengerikan. Bahkan tidak tidur lebih dari tujuh hari, tidak mampu mengontrol dirinya, dan mulai tidak mengenakan pakaian,” ujarnya.
Penyebab gangguan jiwa tidak ada yang pasti. Teori kedokteran mengungkapkan ada yang melihat dari sudut biologis karena gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya.
Penyebab lain dari sudut psikologis. Bagaimana perkembangannya sejak mereka dilahirkan sampai mereka dibesarkan. Tak jarang, cara mendidik orangtua berpengaruh.
Penyebab lain, trauma. Ada trauma yang membuat mereka melihat kejadian itu sangat mengerikan sehingga mereka tidak mampu bereaksi atau merespons atau beradaptasi sampai normal kembali.
Contoh, banyak warga masyarakat Bali mengalami trauma luar biasa pasca-pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Tak jarang mereka menularkan trauma itu kepada anak dan cucu mereka.
Faktor lain karena stres dan psikososial, karena putus cinta, atau memiliki utang akhirnya membuat mereka jatuh dalam gangguan jiwa.
Dalam seminar itu juga terungkap kasus bunuh diri di Bali sangat tinggi. Sebanyak 48% kasus disebabkan ganguan jiwa berat atau depresi. Komang Adi, S.E., relawan LHB, melakukan penelitian di Kabupaten Karangasem. “Lebih dari 1000 orang menderita ganguan jiwa berat. Mereka tidak mau makan, tidak mau minum, merenung saja, mereka pun dipasung, dibiarkan tidur di tanah dekat kandang babi, tidak ada yang mengurus. Mereka dibiarkan begitu saja tanpa pertimbangan mereka juga manusia,” ujar Komang.
Data tersebut didapatkan Komang, setelah terjun ke rumah-rumah penduduk. Kepala desa maupun puskesmas di sana tidak mempunyai data pasti berapa jumlah masyarakat yang menderita ganggan jiwa psikosis. “Sebagian warga malu mengatakan jika ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Tak jarang mereka marah kalau keluarganya dikatakan gila. Setelah dijelaskan apa tanda-tanda ganggun jiwa dan efek gangguan jiwa, akhirya mereka mau menerima saya,” tutur Komang.
Kobra Sembuh tanpa Obat
SALAH seorang penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, Kobra, menceritakan awal mula ia mengalami gangguan jiwa. Kobra terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ibunya mendidiknya sangat keras. Kobra kecil sering dipukul dengan kayu sampai ia duduk di kelas II SMP. Namun, ia mengaku saat itu ia tidak menaruh dendam pada ibunya. Ia menyadari, dirinya nakal maka layak untuk dipukul. Kobra juga sering dicaci maki ibunya. “Tiada hari tanpa pukulan dan cacian,” ungkap lelaki yang kini menguasai empat bahasa asing, Jepang, Prancis, Inggris, dan Belanda ini.
Tamat SMA dia kuliah di Unhi jurusan Tradisional Healing. Saat itu pikiran buruk terus menghantuinya. Ia mencoba berkenalan dengan dunia spiritual, berburu orang spiritual, dan masuk dalam kelompok meditasi. Namun, semua usahanya sia-sia. Ia tetap mengalami halusinasi.
Setelah cukup lama terjadi debat dalam dirinya, mulai muncul perintah untuk menyakiti orang lain. Sejak itu mulai muncul rasa dendam pada ibunya. Trauma itu menyuruh Kobra melakukan kekerasan yakni untuk membunuh ibunya. Tetapi, ia tidak melakukannya karena mencoba untuk berjuang melawan suatu kekuatan yang membuatnya ingin melakukan kekerasan itu. Kobra berusaha berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu ia sedang mengalami gangguan jiwa. Kobra tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Walaupun Kobra bekerja, uang hasil jerih payahnya tidak cukup untuk membeli obat karena harganya mahal.
Ia menuturkan, proses untuk dapat normal kembali dari ganguan jiwa sangat panjang dan melelahkan. Sekitar dua tahun ia berjuang dengan meditasi pagi dan malam. Ia datang ke pantai memuntahkan semua masalahnya lewat teriakan-teriakan.
Akhirnya Kobra menyadari, trauma masa kecil adalah penyebab gangguan jiwanya. Kesadaran itu ia dapat setelah mengikuti Program Memahami Jati Diri yang digelar SIMH. Ketika itu Kobra dibawa ke masa lalunya. Ia melihat kejadian masa kecilnya membuat ia takut menghadapi hidup. Bahkan saat itu Kobra berucap, ibunya adalah setan, yang selalu merasuki dirinya. Setelah program itu, Kobra tetap berjuang untuk mengeluarkan traumanya dengan meditasi spirit arahan SIMH. Kobra akhirnya berhasil mengeluarkan masalahnya dengan jalan mengobrol sesama teman. Kobra adalah salah seorang penderita gangguan jiwa yang berhasil berjuang sendiri untuk sembuh tanpa obat.
Trauma tak Mudah Hilang
Agus Suandana, siswa SMA di Denpasar menuturkan, sejak kecil ketika ayahnya masih hidup, ia selalu dipukul, ditendang, bahkan sampai matanya merah. Kejadian itu terus membayanginya sampai ia remaja dan membuat ia ingin terus menyakiti adiknya, walaupun ia sadar, tindakan itu salah. Ia mengaku emosinya labil dan selalu ingin marah dan melampiaskannya pada adiknya.
Menurut Dokter Cok Bagus, trauma tidak dapat hilang begitu saja. Trauma tetap tersimpan rapi dalam memori karena saat kita mengalami trauma semua panca indra bekerja. “Apa pun yang dialami akan terekam dalam memori kita. Kemudian pada saatnya nanti secara tiba-tiba langsung menjadi referensi untuk melakukan tindakan saat situasi mendukung dan membuatnya melakukan tindakan yang sma dengan yang ada dalam memorinya. Bisa dalam tindakan marah atau jengkel, bahkan menangis,” ujarnya.
“Penting, bagaimana Anda dibesarkan orangtua. Jika sejak dalam kandungan cukup diberi kasih sayang, itu akan menjadi modal Anda menghadapi trauma. Bukan berarti tiap orang yang mengalami trauma akan mengalami gangguan jiwa. Tergantung mereka apakah mau belajar mengatasinya atau tidak,” paparnya.
Wayan Rusmi, menanyakan bagaimana cara orangtua menghadapi anak remaja yang menarik diri dari pergaulan dan sulit diajak berkomunikasi. Apakah itu termasuk gangguan jiwa?
Menurut Dokter Cok Bagus gejala gangguan jiwa biasanya sering terjadi pada saat masa akhir remaja. Jika mereka tidak dapat belajar mengenal dirinya dan belajar dari pengalaman mereka dapat jatuh dalam gangguan jiwa. Apalagi lingkungan keluarga dan sosial tidak mendukung dengan sering melakukan kekerasan. Orangtua sering mengeluh tentang anak remajanya yang sulit diatur dan suka melawan.
“Remaja merasa dirinya orang dewasa dan di sisi lain mereka tetap membutuhkan bimbingan orangtuanya. Di sinilah orangtua harus dapat memosisikan diri sebagai teman bagi remaja,” ujarnya.
Hermani, guru TK di Denpasar mengatakan anaknya yang duduk ke kelas II SD, sulit bergaul. Dari pengakuan gurunya, anaknya sering berdiri di belakang kelas saat guru menerangkan pelajaran. Anak itu kadang bicara dan asyik sendiri. Waktu istirahat, saat teman-temannya bermain, ia diam sendiri dalam kelas.
Menanggapi itu, Dokter Cokorda Bagus mengatakan, ketika orang sudah asyik bermain dalam dunianya sendiri sering sudah divonis gangguan jiwa. Kalau gangguan jiwa harus sudah ada halusinasi dan waham. Kalau itu tidak ada, kasus ini temasuk gangguan perkembangan. Ini masih dapat diperbaiki. Mungkin di rumah sering menghabiskan waktunya menonton TV. Ketika di rumah ia sering bercakap-cakap dengan televisi.
Prof. Suryani menambahkan guru TK dan SD hendaknya dapat menemukan ganguan jiwa ini lebih awal. Ketika melihat anak bicara sendiri, guru harus waspada. Orangtuanya sebaiknya diberi tahu, atau konsultasikan ke psikiater sehingga anak tidak sampai mengalami gangguan jiwa. Orangtua juga perlu introspeksi diri apakah hal itu tidak terjadi akibat tindakan dirinya sebelum menyalahkan orang lain.
“Boleh memarahi anak, namun, setelah itu ajak anak itu bicara. Jelaskan kepada anak mengapa ia dimarahi, sehingga trauma itu tidak disimpan sampai tidur. Kalau sampai terbawa tidur dan bersifat komulatif, dan dia tidak mampu mengatasinya, dapat mengakibatkan gangguan dalam dirinya,” ujar Prof. Suryani. –ast.
Permalink Leave your comment




Perceraian berhubungan dengan konsekuensi psikologi, emosional, ekonomi dan pisik. Anak-anak yang tinggal di lingkungan seperti itu benar-benar tidak belajar banyak mengenai harmoni dan apa yang dipertaruhkan untuk kebahagian dan hubungan yang sukses.
B.D. Schmitt, M.D. (1999) (dalam Nilakusmawati, 2008), mengungkapkan dampak perceraian terhadap anak berbeda menurut usia.
a. Anak Pra Sekolah “Preschool Child” ( 3 - 6 Tahun)
Anak pra sekolah cenderung memiliki keterbatasan dan kesalahan persepsi mengenai perceraian. Mereka memiliki sifat ego yang tinggi dan kaku mengenai hal benar dan salah. Karenanya ketika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka, mereka biasanya menyalahkan diri mereka sendiri berdasarkan dugaan kelakuan yang tidak baik yang telah mereka lakukan. Anak usia ini seringkali menafsirkan kehadiran orang tua sebagai suatu penolakan personal, atau kekhawatiran bahwa mereka juga akan menjadi terbuang/terkorbankan. Pada tahap masa kecil ini juga sifat terbentuk oleh fantasi. Anak mungkin mengingkari kenyataan dan sangat mengharapkan orang tuanya bersatu kembali. Disamping itu, mereka pada umumnya kembali berkelakuan seperti bayi; menghisap jempol, ngompol, pemarah, melengket dgn selimut atau mainan favoritnya. Mereka secara umum menjadi takut terhadap sisi gelap dari sesuatu atau perpisahan dari sesuatu hal.
b. Usia Sekolah “The Older School - Aged” ( 6-9 Tahun)
Tingkah laku yang berhubungan dengan perceraian pada anak usia sekolah ( 6 - 9 tahun) , pada saat anak mencapai usia sekolah, mereka tidak lagi mengatasi dengan mengingkari realitas dari perceraian. Mereka sepenuhnya sadar menerima sakit dan kesedihan, benar-benar merindukan kerukunan kembali. Mereka cenderung memandang hidup dalam sisi hitam dan putih, dan cenderung menyalahkan salah satu dari orang tua sebagai penyebab perpisahan. Anak laki-laki khususnya berdukacita atas kehilangan ayahnya dan seringkali melimpahkan kemarahan pada ibunya.
c. Usia Sekolah (9 - 12 Tahun).
Pada anak usia sekolah (9 - 12 tahun), mereka biasanya bereaksi terhadap perceraian dengan kemarahan. Anak-anak kemungkinan menjadi sangat kritikal dan benci terhadap keputusan cerai orang tua mereka. Seperti anak usia sekolah, mereka mungkin selanjutnya menyalahkan kekakuan/kekerasan salah satu atau kedua orang tuanya, dan memperlihatkan rasa tidak suka mereka terhadap pasangan baru orang tua mereka. Mereka juga mungkin benci pada pengurus rumah tangga atau pengurus anak. Anak-anak pada usia tahap perkembangan tidak suka lebih menonjol diantara teman sebaya mereka dan umumnya merasa malu atau merasa telah tertimpa bencana karena perceraian.
Mereka cenderung mempunyai perhatian yang sangat praktis mengenai kehidupan keluarga hari demi hari, mereka khawatir mengenai keuangan keluarga dan apakah mereka merupakan sebuah aliran atas pendapatan orang tua mereka. Mereka juga memperoleh kemampuan untuk menegaskan dan khawatir mengenai bagaimana orang tua mereka menanggulanginya. Mereka mungkin menutupi perasaan mereka yang sebenarnya dengan menyibukkan diri dengan berbagai atau begitu banyak aktivitas.
Studi yang dilakukan oleh Judith S. Wallerstein dan Joan B. Kelly (1980) menyatakan bahwa 90% anak-anak yang kedua orang tua bercerai mengalami goncangan emosional ketika perceraian terjadi, rasa sedih yang sangat dalam dan perasaan khawatir. 50 % merasa ditolak dan terbuang, dan memang hal itu ditunjukkan oleh hampir setengah dari ayah mereka yang tidak pernah mengunjungi anak-anaknya selama tiga tahun setelah perceraian. Sepertiga dari anak laki-laki dan perempuan merasa takut terbuang oleh orang tua mereka dan 66% mengalami tahun-tahun tanpa orang tua. Sangat signifikan bahwa 37% anak-anak merasa lebih tidak bahagia setelah 5 tahun terjadi perceraian dari pada anak-anak yang orang tuanya telah mengalami perceraian selama 18 bulan. Dengan kata lain, waktu tidak dapat menyembuhkan luka mereka, sehingga orang tua cenderung menghindari perceraian sebagai pilihan tindak lanjut mengatasi perselingkuhan mengingat dampaknya terhadap masa depan anak.
Kita perlu menjadari bahwa jarang sekali pasangan yang hendak bercerai itu, memiliki kehidupan yang tetap mesra, harmonis, penuh kasih. Sebaliknya pada berbulan-bulan sebelum hari perceraian tiba, pada umumnya kehidupan pasangan nikah berubah ada yang hingga 180 derajat. Mereka tampak semakin tegang, diwarnai dengan berbagai konflik, percekcokan, ketidak harmonisan, perdebatan, bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan kata-kata mesra berubah menjadi saling menghina bahkan juga saling merendahkan. Peristiwa sebelum perceraian sesunggunya sudah akan mengakibatkan berbagai masalah buruk bagi anak-anak. Untuk itu mari kita melihat beberapa pengaruh buruk bagi anak, saat menjelang perceraian dan sesudah perceraian yang diambail dari sumber Dept of Family Relationship and human Development the Ohio State University. (Sarjono, 2009)
Pengaruh buruk pada masa tegang sebelum perceraian tiba terhadap gangguan jiwa pada anak
1. Confliked Loyalty.
Membenci dan mengasihi Salah satu orang Tua.
Bila orang tua mulai bertengkar, anak biasanya akan membenci salah satu dari orang tua mereka: sebagai contoh anak yang lebih mencintai ibunya karena melihat yang menjadi korban adalah ibunya, selanjutnya dia akan membenci ayahnya. Atau sebaliknya ia mencintai ayahnya dan membenci ibunya. Dan dalam situasi seperti ini pihak siapa yang lebih pandai memprofokasi anak dialah yang akan dicintai sang anak, dan pasanganya yang harus menderita kebencian dari sang anak, tanpa mengetahui duduk perkara yang sesungguhnya.
2. Loneliness.
Dalam situasi yang penuh ketegangan itu, kadang-kadang anak sulit mengambil keputusan untuk memihak atau memilih untuk membela salah satu antara papa atau mama. Dan situasi seperti ini menjadikan dia korban yang merasa terhimpit diantara dua pilihan, peristiwa seperti ini membuat anak menjadi merasa kesepihan, dan merasa ditinggalkan.
3. Anxiety and feeling of insecurity. Merasa Tidak Aman/ Cemas.
Anak yang melihat konflik terjadi diantara orang tuanya, mereka mulai menderita ketakutan dan kecemasan yang amat tinggi. Apalagi saat mereka mendengar kata-kata cerai keluar dari bibir salah satu orang tuanya, ketakutan yang mencekam menghinggapi anak-anak ini. Menghadapi hal ini setiap anak menjadi sangat takut atau cemas. Perlu kita sadari bahwa setiap anak itu didalam lubuk hatinya takut berpisah dari orang tuanya, dan mereka juga sangat takut papa dan mamanya berpisah. Karena hal ini akan menimbulkan kecemasan, dan ketakutan yang mendalam didalam kehidupan mereka.
4. Feeling of rejection.
Anak merasa ditolak. Pada saat orang tua bersitegang dan berkelahi anak-anak akan diperhadapan pada satu pilihan, memihak atau memilih siapa yang di bela, siapa yang diikuti, dan dihormati papa atau mama setelah perceraian terjadi, dan situasi sulit sepeti ini membuat mereka merasa serba salah dan timbul perasan ditolak baik oleh salah satu maupun kadang-kadang oleh kedua orang tuanya.
Pengaruh buruk Sesudah Perceraian Terjadi.
Selanjutnya dalam kehidupan rumah tangga yang dipenuhi pertengkaran dan perkelahian, serta ketidak harmonisan dan perceraian, cepat atau lambat akan sangat mempengaruhi anak-anak mereka. Beberapa model anak yang biasanya akan muncul akibat korban perceraian orang tua, yaitu:
1. Anger, and feeling of rejection.
Sebagian anak korban perceraian memiliki perilaku nakal, tak terkendali, serta menjadi pemberontak dan menimbulkan berbagai masalah diluar rumah. Hal seperti ini bisa terjadi antara lain disebabkan oleh:
a. Adanya pelampiasan dari rasa frustrasi, kemarahan dan perasaan ditolak yang dialaminya.
b. Terlalu seringnya orang tua mempraktekan perkelaian, pertengkaran dan anak mengadopsi prilaku buruk ini dalam melampiaskan rasa frustrasinya.
c. Penyebab berikutnya adalah Anak yang telah kehilangan rasa Aman, rasa tentram dan penuh kedamaian yang selama ini dia alami. Kini mereka menjadi kecewa dan marah kepada orang tua yang berubah telah menciptakan rasa ketiadak amanan dalam diirinya.
d. Bagi anak yang harus menderita dan tinggal dengan salah satu orang tua akibat perceraian mereka juga telah kehilangan sosok ayah dan bisa juga sosok ibu yang seharusnya penuh kasih. Dan disinilah berbagai letupan ketidak nyamanan dan ketidak amanan muncul dalam bentuk berbagai kenakalan, dan ketidak patuhan, serta muncul rasa tidak begitu hormat kepada kepada salah satu orang tua yaitu sang ibu atau sang ayah.
e. Anak kehilangan jatidirinya. Status sebagai anak cerai yang harus disandang oleh anak-anak memberikan suatu perasaan bahwa dia orang yang berbeda dari anak-anak lain dan dari sinilah perasaan ditolak semakin berkembang..
2. Pervasive sense of loss and emptiness.
Model anak yang kedua adalah “Anak yang depresi, menutup diri dan merasa diri hampa dan tak bermakna“. Sebagian besar anak-anak takut bila orang tua mereka bercerai. Perceraian orang tua bisa menggoncangkan jiwa anak-anak. Salah satu penyebab timbulnya rasa hampa dan takutnya adalah: Mereka merasa takut masa depannya yang kini nyaman dan terjamin akan menjadi hancur berantakan. Dan dari sinilah rasa frustari dan depresi itu timbul. Mereka merasakan masa depannya akan suram dan hidup begitu hampa dan tak bermakna. Maka sebagai akibatnya ada sebagian dari mereka hidup hanya untuk menuruti kehendak hatinya tanpa mengindahkan norma dan kaidah -norma di tengah masyarakat.
3. Model ketiga, Anak Menjadi Penyelamat kuarga atau menjadi semakin baik.
Hal ini biasanya dilakukan, karena anak sangat mengasihi orang tuanya dan biasanya dilakukan oleh anak yang sudah agak dewasa. Sebagai anak ia mencoba selalu menutupi kejelekan sifat kedua orang tuanya. Bahkan ada diantara mereka yang berusaha untuk mendamaikan orang tuanya.
DAFTAR RUJUKAN
Nilakusmawati, Desak Putu Eka, dkk. 2008. Perselingkuhan dan Perceraian (Suatu Kajian Persepsi Wanita)– Adultery and Divorce (Study of Woman Perception). (Online). (http://ejournal.unud.ac.id/abstrak/selingkung%20nila%20matematika.pdf, diakses 18 November 2009)
Sarjono, Supriyono. 2009. The Dissolutiion Of Marriage - Pengaruh Buruk Dari Perceraian. (Online),(http://www.kadnet.info/web/index.php?option=com_content&view=article&id =651 :the-dissolutiion-of-marriage-pengaruh-buruk-dari-perceraian&catid=43:rumah tangga & Itemid =63, diakses 18 November 2009)
Wallerstein, Judith S. dan Joan B. Kelly, 1980. Surviving the
Breakup. Basic Books. New York .
Nopember 19th, 2009 in psikologi




Trauma Penyebab Gangguan Jiwa
SEBANYAK 7000 orang di Bali diperkirakan mengalami gangguan jiwa berat yang tidak tertangani dari hasil survei Layanan Hidup Bahagia (LHB) dibawah koordinasi Suryani Institute for Mental Health (SIMH). Gejala-gejala seperti menarik diri dari pergaulan, lebih sering berada di kamar, bengong, berbaring atau melamun, emosinya tumpul, mukanya datar tidak berekpresi baik saat sedih ataupun tertawa hingga mengamuk merupakan bentuk yang banyak dijumpai.
Menurut Prof. Dr. dr. L.K. Suryani, Sp.KJ. (K)., Ketua Suryani Institue for Mental Health, banyak dari masyarakat menganggap gangguan jiwa sebagai kutukan Tuhan dan tidak kena dapat disembuhkan. “Siapapun dapat terkena ganguan jiwa, baik itu orang kaya, atau orang miskin, pejabat atau masyarakat biasa,” ujarnya dalam seminar “Gangguan Skizofrenia”, Sabtu (14/2) di Wantilan DPRD Bali.

Ia mengatakan tak jarang penderita gangguan jiwa harus dirantai, dikurung atau dikucilkan. Namun, pada kenyataannya, kata Ahli Kejiwaan FK. Unud ini, banyak dari mereka berhasil untuk bangkit dan mampu merasakan indahnya hidup jika ditangani dengan baik.

Menurut Koordinator Wilayah LHB dr. Cokorda Bagus Jaya Lesmana, Sp.KJ skizofrenia atau lebih dikenal gangguan jiwa mulai muncul pada akhir masa remaja sampai dewasa muda.
Ia menyebutkan Satu diantara 100 orang menderita gangguan jiwa. Ada 3 hal berat dalam gangguan jiwa yakni fungsi pola berpikir terganggu, fungsi bahasa dan komunikasi terganggu, serta terganggunya fungsi dalam prilaku. “Tak jarang kita jumpai ketika diajak mengobrol mereka tidak menyambung, atau berprilaku aneh, bahkan tidak menggunakan pakaian,” jelasnya.

Ia menyebutkan ada dua gejalanya yakni positif dan negatif. Pada gejala positif gangguan ini tidak terjadi seketika. Ada proses yang mendahuluinya. Gejala ini berlangsung sekitar satu bulan. Ciri pertama seperti mendengar suara-suara atau halusinasi. Ciri kedua, adanya waham yakni suatu keyakinan salah yang terus dipertahankan meskipun secara logika, maupun nalar tidak sesuai. “Misalnya dia mengaku yakin sebagai keluarganya Presiden Sukarno atau mereka merasa sebagai utusan Tuhan. Mereka berpakaian seperti nabi. Padahal, sehari-hari sembahyang pun tidak pernah,” papar Dokter Spesialis Kejiwaan FK Unud ini.

Sedangkan gejala negatif seperti penarikan diri, tidak mau bergaul, atau tidak mau sekolah. Ia mengatakan Aada kesulitan bagi mereka untuk merasakan kesenangan seperti yang tadinya bermain sepak bola, menyanyi, tapi kini mulai merasakan tidak nyaman. “Mereka mulai tidak mandi, dan mengalami gangguan tidur. Sering bermimpi buruk dan mengerikan. Bahkan tidak tidur lebih dari 7 hari, tidak mampu mengontrol dirinya, dan mulai tidak menggunakan pakaian,” ujarnya.

Penyebab gangguan jiwa ini tidak ada yang pasti. Teori kedokteran mengungkapkan ada yang melihat dari sudut biologis karena gangguan nerotrasmitter di otak sehingga sulit mengontrol dirinya. Penyebab lain dari sudut piskologis. Bagaimana perkembangannya sejak mereka dilahirkan sampai mereka dibesarkan saat ini. Tak jarang, cara mendidik orangtua sangat besar pengaruhnya sampai terjadi gangguan jiwa.

Penyebab lain adalah trauma. Ada trauma yang membuat mereka melihat kejadian itu sangat mengerikan sehingga mereka tidak mampu bereaksi atau merespon atau beradaptasi sampai normal kembali.
Ia menilai masyarakat Bali banyak mengalami trauma luar biasa sejak pembunuhan besar-besaran tahun 1965-1966. Banyak dari mereka yang masih hidup sampai saat ini mengalami trauma. Bahkan, tak jarang mereka menularkan trauma itu kepada anak dan cucu mereka. Faktor lain karena stres dan psikososial, karena putus cinta, atau memiliki utang akhirnya membuat mereka jatuh dalam gangguan jiwa.

Menurut Prof. Suryani kalau kita berpandangan gangguan jiwa disebabkan ini faktor keturunan atau genetik mereka tidak akan pernah punya harapan sembuh. Namun, kita jika mampu berpikir, gangguan jiwa terjadi karena ada faktor trauma masa lampau apakah itu saat mereka dalam kandungan, dilahirkan, waktu dibesarkan, dewasa, trauma politik, lingkungan, mereka ini dapat disembuhkan.

Kasus bunuh diri di Bali sangat tinggi. 48% kasus disebabkan ganguan jiwa berat atau depresi. Komang Adi, S.E., relawan LHB melakukan penelitian di Kabupaten Karangasem yang merupakan pilot project LHB. “Lebih dari 1000 orang menderita ganguan jiwa berat. “Mereka ini tidak sekadar tidak mau makan, tidak mau minum, hanya merenung saja, namun, mereka dipasung, dibiarkan tidur di tanah dekat kandang babi, tidak ada yang mengurus. Mereka dibiarkan begitu saja tanpa berpikir mereka juga manusia,” ungkap Komang.

Data ini pun didapatkan Komang, setelah terjun langsung ke rumah-rumah penduduk. Kepala desa maupun Puskesmas di sana tidak mempunyai data pasti berapa jumlah masyarakat yang menderita ganggan jiwa psikosis. Banyak kejadian unik dilukiskan Komang saat ia melakukan riset di lapangan. “Masyarakat malu mengatakan jika ada keluarganya yang menderita gangguan jiwa. Bahkan tak jarang dari mereka marah kalau keluarganya dikatakan gila. Setelah dijelaskan apa tanda-tanda ganggun jiwa dan efek dari gangguan jiwa ini, akhirya mereka mau menerima saya,” tutur Komang.

Salah satu penderita gangguan jiwa yang sudah sembuh, Kobra menceritakan awal mula ia mengalami gangguan jiwa. Kobra terlahir dari sebuah keluarga sederhana. Ibunya mendidiknya sangat keras. Kobra kecil sering dipukul dengan kayu sampai ia duduk di kelas II SMP. Namun, ia mengaku saat itu ia tidak menaruh dendam pada ibunya. Ia berpikir, bahwa ia nakal memang layak untuk dipukul. Selain dipukul dengan kayu, Kobra juga selalu dicaci maki oleh ibunya. “Setiap Ibu marah dia selalu mencaci dengan kata-kata kotor dan memukul saya dengan kayu. Tiada hari tanpa pukulan dan cacian,” tutur lelaki yang kini menguasai 4 bahasa asing , Jepang, Perancis, Inggris, dan Belanda ini.

Sampai tamat SMA muncul debat dalam dirinya. Tamat SMA dia mengambil kuliah di Unhi jurusan Tradisional Healing. Saat itu pikiran buruk terus menghantuinya. Ia mencoba berkenalan dengan dunia spiritual, berburu orang spiritual, dan masuk dalam kelompok meditasi. Namun, semua usahanya sia-sia. Ia tetap mengalami halusinasi. Setelah cukup lama terjadi debat dalam dirinya, mulai muncul perintah untuk menyakiti orang lain.

Sejak itu mulai muncul rasa dendam pada ibunya. Trauma itu menyuruh Kobra melakukan kekerasan yakni untuk membunuh ibunya. Untung saja, Kobra tidak melakukan itu, karena ia mencoba untuk berjuang melawan suatu kekuatan yang membuatnya ingin melakukan kekerasan itu. Kobra berusaha berjuang sendiri, tanpa ada yang tahu ia sedang mengalami gangguan jiwa. Kobra tidak mempunyai uang untuk membeli obat. Walaupun Kobra bekerja, uang hasil jerih payahnya bekerja tidak cukup untuk membeli obat karena harga mahal.

Ia mengaku untuk dapat normal dari ganguan jiwa proses sangat panjang dan melelahkan. Sekitar dua tahun ia berjuang dengan meditasi pagi dan malam. Ia datang ke pantai meneriakkan semua masalahnya. Banyak orang bertutur padanya “Masa lalu saya juga parah, tapi saya tidak mengalami ganggun jiwa”. Mereka protes dengan Kobra. Kobra pun bertekas berjuang melawan gangguan jiwa yang menimpanya.

Kobra akhirnya menyadari, trauma masa kecil adalah penyebab gangguan jiwanya, setelah mengikuti Program Memahami Jati Diri yang digelar SIMH. Ketika itu Kobra di bawa ke masa lalunya. Ia melihat kejadian masa kecilnya membuat ia takut menghadapi hidup. Bahkan saat itu Kobra berucap, ibunya adalah setan, yang selalu merasuki dirinya. Setelah program itu, Kobra tetap berjuang untuk mengeluarkan traumanya dengan meditasi spirit arahan SIMH. Kobra akhirnya berhasil mengeluarkan masalahnya dengan mengobrol sesama teman. Kobra adalah salah satu penderita gangguan jiwa yang berhasil berjuang sendiri untuk sembuh tanpa obat. -ast




Kekerasan Pada Anak Dan Perempuan; Dampak dan Solusinya
Senin, 05/01/2009 07:53 WIB | email | print | share
Kekerasan pada anak (child abuse) dan perempuan secara klinis diartikan sebagai suatu tindakan yang dilakukan satu individu terhadap individu lain yang mengakibatkan gangguan fisik dan atau mental. Namun hemat penulis, masalah kekerasan dalam hal ini tidak saja diartikan sebagai suatu tindakan yang mengakibatkan gangguan fisik dan mental namun juga mengakibatkan gangguan social, karena kekerasan bukan saja dalam bentuk emosional, seksual dan fisik namun juga dalam hal ekonomi, seperti halnya dipaksa jadi pelacur, pembantu, pengamen dan lain sebagainya. Begitupun sang pelaku bukan saja dilakukan oleh oleh orang-orang terdekat dalam keluarga (KDRT/domestic violence) namun juga di lakukan oleh orang luar, dengan kata lain bukan saja kekerasan tapi sudah masuk kejahatan dan modusnyapun semakin berkembang.
Seperti akhir triwulan pertama tahun 2007 lalu, muncul kasus dengan tingkat ekstrimitas yang tinggi, yakni sejumlah kasus pembunuhan anak oleh ibu kandungnya sendiri. Kasus terkini, Maret 2008, seorang ibu membunuh bayi dan balita dengan cara menceburkan mereka ke bak mandi. Modus baru yang perlu diwaspadai, kasus perdagangan anak untuk dijual organ tubuhnya. Menurut laporan dalam suatu pertemuan di Australia, diduga ada anak dari Indonesia yang jadi korban perdagangan anak untuk kepentingan dijual organ tubuhnya. Data kasus yang dilaporkan ke kepolisian, setiap tahun ada sekitar 450 kasus kekerasan pada anak dan perempuan. Sebanyak 45 persen dari jumlah kasus itu, adalah anak korbannya (kompas, 14/04/2008). Dari laporan ini modus perdagangan manusia (human trafficking) saja sudah berubah. Dimana awalanya perdagangan manusia hanya dalam hal prostitusi dan buruh kerja, namun akhir-akhir ini sudah masuk ke dalam perdagangan organ tubuh, dan penulis yakin bahwa modus seperti ini bukan saja terjadi pada anak namum juga pada perempuan.
Faktor Penyebab dan Dampaknya
Faktor penyebab terjadinya kekerasan pada anak dan perempuan, secara keumuman disebabkan oleh suatu teori yang di kenal behubungan dengan stress dalam keluarga (family stress). Stres dalam keluarga tersebut bisa berasal dari anak, orang tua (suami atau Istri), atau situasi tertentu. Stres berasal dari anak misalnya anak dengan kondisi fisik, mental, dan perilaku yang terlihat berbeda dengan anak pada umumnya. Bayi dan usia balita, serta anak dengan penyakit kronis atau menahun juga merupakan salah satu penyebab stres. Stres yang berasal dari suami atau istri misalnya dengan gangguan jiwa (psikosis atau neurosa), orang tua sebagai korban kekerasan di masa lalu, orang tua terlampau perfek dengan harapan pada anak terlampau tinggi, orang tua yang terbiasa dengan sikap disiplin. Stres berasal dari situasi tertentu misalnya terkena suami/istri terkena PHK (pemutusan hubungan kerja) atau pengangguran, pindah lingkungan, dan keluarga sering bertengkar.
Namun tentunya teori tersebut hanya melingkupi kekerasan dalam rumah tangga. Penyebab utama lainnya adalah, kemiskinan, masalah hubungan social baik keluarga atau komunitas, penyimpangan prilaku social (masalah psikososial). Lemahnya kontrol social primer masyarakat dan hukum dan pengaruh nilai sosial kebudayaan di lingkungan social tertentu. Namun bagi penulis penyebab utama terjadinya masalah ini adalah hilangnya nilai Agama (terutama Islam), karena tentunya hanya dengan agama yang bisa mengatur masalah social berbasis kesadaran individu.
Diantara dampak kekerasan pada anak dan perempuan adalah stigma buruk yang melekat pada korban diantaranya, Pertama, Stigma Internal yaitu, Kecenderungan korban menyalahkan diri, menutup diri, menghukum diri, menganggap dirinya aib, hilangnya kepercayaan diri, dan terutama adalah trauma sehingga seperti halnya perempauan tidak mau lagi berkeluaraga setelah dirinya trauma menerima kekerasan dari suaminya. Kedua, Stigma Eksternal yaitu, kecenderungan masyarakat menyalahkan korban, media informasi tanpa empati memberitakan kasus yang dialami korban secara terbuka dan tidak menghiraukan hak privasi korban. Selain stigma buruk yang melekat pada korban, kejahatan pada anak dan perempuan juga dapat menghancurkan tatanan nilai etika dan social seperti halnya dampak buruk dari human trafficking.
Solusi Mendesak
Untuk mencegah dan menghentikan kekerasan pada anak dan perempuan dibutuhkan beberapa pendekatan diantaranya, pendekatan individu, yaitu dengan cara menambah pemahaman agama, karena tentunya seorang yang mempunyai pemahaman agama yang kuat (terutama Islam) akan lebih tegar menghadapi situasi-situasi yang menjadi factor terjadinya kekerasan. Terlebih Islam telah mengajarkan aturan hidup dalam berumah tangga, baik sikap kepada Istri atau kepada anak dan juga mengajarkan interaksi sosial yang baik. Islam sangat mengutuk segala macam bentuk kekerasan, Islam memperbolehkan bercerai jika ada kekerasan dalam rumah tangga sebagai mana hadis dari Aisyah RA berkata, bahwasanya Habibah binti Sahl, istri Tsabit bin Qais dipukul suaminya sampai memar. Keesokan paginya Habibah melaporkan tindakan kekerasan suaminya kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah memanggil Tsabit. Sabdanya, ''Ambillah sebagian hartanya (maharnya) dan ceraikanlah ia!'' Tsabit bertanya, ''Apakah hal itu sebagai penyelesaiannya ya Rasulullah?'' Jawab Rasulullah, ''Ya betul.'' Tsabit berkata lagi, ''Sesungguhnya saya sudah memberinya dua kali lipat, dan keduanya berada di tangannya.'' Kata Rasulullah lagi, ''Ambillah kedua bagian tersebut, dan ceraikan ia!'' Lalu Tsabit pun melaksanakan perintah tersebut. (HR. Imam Abu Dawud).
Pendekatan sosial melingkupi pendekatan partisipasi masyarakat dalam melaporkan dan waspada setiap tindakan kejahatan, terutama human trafficking. Pendekatan medis, untuk memberikan pelayanan dan perawatan baik secara pisik atau kejiwaan, juga memberikan penyuluhan terhadap orang tua tentang bagaimana mengasuh anak dengan baik dan benar. Dan terakhir adalah pendekatan hukum, tentunya yang bertanggung jawab masalah ini adalah pemerintah untuk selalu mencari dan menanggapi secara sigap terhadap setiap laporan atau penemuan kasus kekerasan dan kejahatan dan menghukumnya dengan ketentuan hukum yang berlaku.


Pengalaman Traumatik Penyebab Gangguan Jiwa (Skizofrenia) Pasien di Rumah Sakit Jiwa Cimahi
Written by Administrator
Wednesday, 26 May 2010 03:06
Iyus Yosep, Ni Luh Nyoman Sri Puspowati, Aat Sriati
Bagian Keperawatan Jiwa
Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Padjadjaran, Bandung


Salah satu faktor penyebab yang menjadi stresor seseorang mengalami gangguan jiwa adalah pengalaman traumatik. Pengalaman traumatik tersebut sulit dilupakan dan memiliki efek psikologis dalam waktu yang panjang. Apabila seseorang tidak mampu beradaptasi dalam menanggulangi stresor, maka akan timbul keluhan-keluhan dalam aspek kejiwaan, berupa gangguan jiwa ringan hingga berat. Salah satu bentuk gangguan jiwa yang paling banyak dan terus meningkat adalah gangguan jiwa berat yaitu skizofrenia. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai pengalaman traumatik pasien skizofrenia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien skizofrenia yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Cimahi, subjek diperoleh berdasarkan purposive sampling sebanyak tujuh orang, pada bulan November 2008. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara secara mendalam (in depth interview). Hasil penelitian terhadap pengalaman traumatik tujuh pasien skizofrenia menunjukkan adanya lima tema yang muncul yaitu: cita-cita/keinginan tak tercapai/kegagalan, kehilangan orang yang dicintai, kehilangan pekerjaan, orangtua galak/pola asuh otoriter, dan mendapat tindakan kekerasan. Terungkapnya pengalaman tersebut, memberi informasi bagi tim kesehatan dalam mencegah dan mengatasi meningkatnya pasien skizofrenia, khususnya yang diakibatkan oleh pengalaman traumatik yang dapat menjadi pencetus, sehingga angka kejadian skizofrenia dapat ditekan seminimal mungkin. [MKB. 2009;41(4):194-200].

Kata kunci: Pengalaman traumatik, skizofrenia, stresor





Definisi | Pengertian | Arti dan Istilah
Kumpulan Definisi, Pengertian, Arti, Istilah, Definisi Menurut Para Ahli, Pengertian Menurut Pakar, Yang bersumber dari Buku, Majalah, Koran dan Internet.
• Home
• Pengertian Agama
• Pengertian Belajar
• Pengertian Data
• Pengertian Kurikulum
• Pengertian Ilmu
• Pengertian Pendidikan
Browse » Home » Definisi Ilusi » Definisi Halusinasi » Definisi Halusinasi dan Ilusi
Friday, January 8, 2010
Definisi Halusinasi dan Ilusi
Definisi Halusinasi dan Ilusi

Menurut Prof. Willy F. Maramis DSJ halusinasi adalah suatu persepsi sensori yang salah tanpa rangsangan dari luar yang sebenarnya, mungkin karena gangguan emosi atau stress (reaksi histerik, deprivasi sensorik), psikosa fungsional atau keracunan (obat, alkohol, halusinogen) dan dapat terjadi pada setiap indra.

Tapi yang sering terjadi adalah halusinasi auditorik (pendengaran) dan halusinasi Visual (penglihatan), halusinasi auditorik lebih sering terjadi karena adanya gangguan jiwa, sedangkan halusinasi visual biasanya terjadi karena pengaruh zat halusinogen seperti alkohol, narkoba dan perubahan molekuler neuron otak.

Ilusi adalah sebuah kondisi mempersepsikan berbeda terhadap sebuah obyek, sebagai contoh mengapa ketika anda melihat sebuah permainan sulap sebenarnya anda sedang mengalami ilusi, pesulap melakukan tehnik membuat sebuah obyek dipersepsi berbeda oleh seseorang. Dedy Corbuizer menyebut dirinya sebagai seorang Mentalis Illusionis, David Coperfield menganggap dirinya sebagai seorang Ilusionis sejati bukan seorang Halusionis.

Ada yang beranggapan bahwa ilusi terjadi karena ada rangsang sedangkan halusinasi terjadi tanpa ada rangsang, dengan pendapat ini tentu untuk orang awam pengertiannya menjadi sulit dicerna meskipun sebenarnya maksud atau pengertiannnya benar, untuk menyederhanakan arti maka halusinasi adalah merasa melihat obyek tanpa benar - benar ada obyek. Contoh : Seorang klien berusia 35 tahun bernama Tn M merasa mendengar bisikan - bisikan yang mengatakan "kamu jelek, kamu jahat, kamu gak bisa apa - apa", ketika di evaluasi di lingkungan tidak ada saksi yang mendukung bahwa mereka mendengar suara seperti yang didengar Tn. M.

Sedangkan Ilusi terjadi ketika anda melihat sebuah sendok dibengkokkan, sendok tersebut tidak benar - benar bengkok tetapi oleh sang magician kita di ilusikan sehingga melihat sendok tersebut menjadi bengkok. Tenik ilusi ini yang membuat segala hal mustahil menjadi masuk akal. Bagaimana dengan orang yang melihat hantu? ada dua versi yang muncul, dia memiliki indra ke enam atau dia berhalusinasi. Untuk mengukurnya maka jika dia merasa memiliki indra ke enam maka orang dengan kemampuan indra ke enam pula dapat melihat sama persis dengan orang yang mengatakan melihat hantu, dikatakan halusinasi jika hanya dia yang melihat hantu dan orang yang memiliki indra keenam tidak menemukan dan tidak melihatapa - apa.

Halusinasi dan ilusi maupun melihat hantu bisa diukur dan dievaluasi, sehingga akan sangat mudah membedakan mana ilusi, mana halusinasi, mana yang memiliki indra ke enam. Dengan mengetahui perbedaan 3 fenomena tersebut maka kita lebih mudah mendeteksi apakah seseorang tersebut mengalami halusinasi atau memang dia seorang paranormal. Seorang paranormal yang merasa melihat hantu akan didukung oleh paranormal lain yang juga melihat hantu, sedangkan seorang penderita halusinasi hanya dia yang melihat hantu sedangkan paranormal atau orang dengan indra ke enam tidak merasakan dan melihat apa - apa. Jika menderita halusinasi maka harus diterapi seperti penderita halusinasilainnya.



Halusinasi
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Belum Diperiksa
Langsung ke: navigasi, cari
Halusinasi adalah terjadinya persepsi dalam kondisi sadar tanpa adanya rangsang nyata terhadap indera. Kualitas dari persepsi itu dirasakan oleh penderita sangat jelas, substansial dan berasal dari luar ruang nyatanya. Definisi ini dapat membedakan halusinasi dengan mimpi, berkhayal, ilusi dan pseudohalusinasi (tidak sama dengan persepsi sesungguhnya, namun tidak dalam keadaan terkendali). Contoh dari fenomena ini adalah dimana seseorang mengalami gangguan penglihatan, dimana ia merasa melihat suatu objek, namun indera penglihatan orang lain tidak dapat menangkap objek yang sama.
Halusinasi juga harus dibedakan dengan delusi pada persepsi, dimana indera menangkap rangsang nyata, namun persepsi nyata yang diterimanya itu diberikan makna yang dan berbeda (bizzare). Sehingga orang yang mengalami delusi lebih percaya kepada hal-hal yang atau tidak masuk logika.
Halusinasi dapat dibagi berdasarkan indera yang bereaksi saat persepsi ini terbentuk, yaitu
• Halusinasi visual
• Halusinasi auditori
• Halusinasi olfaktori
• Halusinasi gustatori
• Halusinasi taktil

[sunting] Pencetus terjadinya halusinasi
1. Sakit dengan panas tinggi sehingga mengganggu keseimbangan tubuh.
2. Gangguan jiwa Skizofrenia
3. Pengkonsumsian narkoba atau narkotika tertentu seperti : ganja, morphin, kokain, dan ltd
4. Mengkonsumsi alkohol berkadar diatas 35% : seperti vodka, gin diatas batas kewajaran
5. Trauma yang berlebihan.

Artikel bertopik kedokteran atau medis ini adalah sebuah rintisan. Anda dapat membantu Wikipedia dengan mengembangkannya.

Diperoleh dari "http://id.wikipedia.org/wiki/Halusinasi"
Kategori: Gejala penyakit
Kategori tersembunyi: Rintisan bertopik medis
Peralatan pribadi
• Fitur baru
• Masuk log / buat akun
Ruang nama
• Halaman
• Pembicaraan
Varian
Tampilan
• Baca
• Sunting
• Versi terdahulu
Tindakan
• ↑
Cari


Navigasi
• Halaman Utama
• Perubahan terbaru
• Peristiwa terkini
• Halaman sembarang
Komunitas
• Warung Kopi
• Portal komunitas
• Bantuan
Wikipedia
• Tentang Wikipedia
• Pancapilar
• Kebijakan
• Menyumbang
Cetak/ekspor
• Buat buku
• Unduh sebagai PDF
• Versi cetak
Kotak peralatan
• Pranala balik
• Perubahan terkait
• Halaman istimewa
• Pranala permanen
• Kutip halaman ini
Bahasa lain
• العربية
• مصرى
• Беларуская
• Беларуская (тарашкевіца)
• Български
• Català
• Česky
• Dansk
• Deutsch
• English
• Esperanto
• Español
• Eesti
• Euskara
• فارسی
• Suomi
• Français
• Gaeilge
• עברית
• Magyar
• Italiano
• 日本語
• ქართული
• ಕನ್ನಡ
• Kurdî
• Lëtzebuergesch
• Lietuvių
• Македонски
• मराठी
• Bahasa Melayu
• Nederlands
• ‪Norsk (bokmål)‬
• Polski
• Português
• Română
• Русский
• Simple English
• Slovenčina
• Slovenščina
• Српски / Srpski
• Svenska
• తెలుగు
• Tagalog
• Türkçe
• Українська
• اردو
• 中文
• Halaman ini terakhir diubah pada 03:23, 1 November 2010.


Pengertian
Halusinasi adalah tanggapan ( persepsi ) pancaindera tanpa rangsangan dari luar(eksternal )

Jenis Halusinasi
Halusinasi Pendengaran
Halusinasi Penglihatan
Halusinasi Penciuman
Halusinasi Pengecapan
Halusinasi Perabaan

Tanda & Gejala
Menarik diri, menghindari orang lain
Mudah tersinggung
Tersenyum, berbicara sendiri
Gelisah, ketakutan, wajah tegang
Pembicaraan kacau, kadang tidak masuk akal
Sikap curiga dan bermusuhan
Menyalahkan diri sendiri/orang lain
Dapat merusak diri, orang lain dan lingkungan
Tidak dapat membedakan hal yang nyata dan tidak nyata
Tidak dapat memusatkan perhatian/konsentrasi
sulit membuat keputusan
Ketakutan
Muka merah kadang pucat
Tidak mau atau tidak mampu melaksanakan asuhan mandiri seperti : mandi, gosok gigi, ganti pakaian

LAPORAN PENDAHULUAN


HALUSINASI

1. Definisi
Halusinasi adalah penyerapan tanpa adanya rangsang apapun pada panca indra sesorang pasien yang terjadi dalam keadaan sadar atau bangun, dasarnya mungkin organik, psikotik ataupun histerik (Maramis, 1994).

Halusinasi merupakan gangguan persepsi dimana klien mempersepsikan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi.

Halusinasi adalah suatu penghayatan yang dialami seperti suatu persepsi melalui panca indra tanpa stimuli ekstern; persepsi palsu (Lubis, 1993).

2. Rentang respon halusinasi ( berdasarkan Stuart dan Laria, 2001).

Respon Adaptif Respon Maladaptif

>Pikiran logis >Distorsi pikiran >Gangguan pikir
>Persepsi akurat >Ilusi >Halusinasi
>Emosi konsisten dgn pengalaman >Reaksi emosi >> atau < >Sulit berespon
emosi
>Prilaku sesuai >Prilaku aneh/tidak biasa >Prilaku
disorganisasi
>Berhubungan sosial >Menarik diri >Isolasi sosial


3. Jenis-jenis halusinasi
Stuart dan Laria, 1998 membaginya seperti tabel berikut :
Jenis Halusinasi Prosentase Karakteristik
Pendengaran (auditorik)





Penglihatan (Visual)




Penghidu (olfactory)


Pengecapan (gustatory)

Perabaan (tactile)


Cenesthetic



Kinesthetic


70 %






20 %




Mendengar suara-suara atau kebisingan, paling sering suara orang. Suara berbentuk kebisingan yang kurang jelas sampai kata-kata yang jelas berbicara tentang klien bahkan sampai ke percakapan lengkap antara 2 orang atau lebih tentang orang yang mengalami halusinasi.

Stimulus visual dalam bentuk kilatan cahaya, gambar geometris, gambar kartun, bayangan yang rumit atau kompleks, bayangan bisa menyenangkan atau menakutkan seperti melihat monster.

Membaui bau-bauan tertenru seperti bau darah, urine atau feces. Umumnya bau-bauan yang tidak menyenangkan.

Merasa mengecap rasa seperti rasa darah, urine atau feces.

Mengalami nyeri atau ketidaknyamanan tanpa stimulus yang jelas, Rasa tersetrum listrik yang datang dari tanah, benda mati atau orang lain.

Merasakan fungsi tubuh seperti aliran darah di vena atau arteri, pencernaan makanan atau pembentukan urine.

Merasakan pergerakan sementara berdiri tanpa bergerak


4. Fase-fase halisinasi
1. Comforting, Ansietas sedang : halusinasi menyenangkan
2. Condemning, Ansietas berat : halusinasi menjadi menjijikkan
3. Controling, Ansietas berat : Pengalaman sensori menjadi berkuasa
4. Consquering, Panik : Umumnya menjadi melebur dalam halusinasinya

5. Pohon masalah

Resiko mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan

PSP : Halusinasi……

Isolasi sosial : Menarik diri

Gangguan Konsep Diri : Harga diri rendah




STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : 1 Jam 10.00 WIB Tgl 27-10-2003
Pertemuan 1

1. Proses keperawatan
1. Kondisi Klien
Menyendiri, bingung, lambat, kontak mata kurang, pembicaraan lambat dan diulang-ulang.
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan interaksi sosial :
3. TUK
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Rencana Tindakan Keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
• Bina hubungan saling percaya : slam terapeutik, ciptakan lingkungan terapeutik.
• Beri kesempatan klien ungkapkan perasaanya.
• Dengarkan ungkapan perasaan klien dengan empati

1. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak ? boleh kenalan ngaak ? nama saya suster Yenny, panggil saya mbak Yenny ya !, saya Mahasiswa PSIK Unibraw Malang, saya yang akan merawat mbak selama 2 minggu ini, mulai tanggal 27 s/d 8 November 2003 “.
2. Evaluasi/ validasi
“ Bagaimana perasaan mbak sekarang ? Tidurnya bagaimana tadi malam ?”.
3. Kontrak
“ Mbak nanti kita cerita-cerita kenapa mbak sampai dibawa kesini ? bersedia khan ? nggak lama koq, kira-kira 10 menit saja, bersedia khan ?

2. Kerja
“ Mbak namanya siapa ? asalnya dari mana ? biasa dipanggil apa ? gimana perasaaanya hari ini ? apakah ada yang membuat mbak bingung ? Mbak sekarang dimana ? dirumah ada siapa saja ? anaknya dengan siapa ?

3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasan mbak sekarang setelah bercakap-cakap dengan saya ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba masih ingat nama saya ? terus coba sebutkan lagi kenapa mbak dibawa kesini ? bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Baiklah mbak karena waktu kita sudah habis kita sudahi sampai disini ya, besok kita nomong-ngomong lagi ya ?
4. Kontrak
“ Besok kita ketemu lagi disini jam 08.00 WIB kita akan nobrol tentang mengapa mbak dibawa kesini ? bersedia ? “.








STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : II Jam 08.00 WIB Tgl 28-10-2003
Pertemuan 2

Proses Keperawatan
1. Kondisi klien
Menyendiri, bingung, gerakan lambat, pembicaraan kurang dan diulang-ulang.
2. Diagnosa keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
4. Rencana tindakan keperawatan
1. Membina hubungan saling percaya
• Bina hubungan saling percaya : salam terapeutik, ciptakan lingkungan terapeutik.
• Beri kesempatan klien ungkapkan perasaanya
• Dengarkan ungkapan klien dengan empati

Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak ? masih ingat saya ? nama mbak Winarti khan ? sebenarnya mbak Winarti sukanya dipanggil apa sih ?”.
2. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang ?”.
3. Kontrak
“ Mbak Win, pagi ini sesuai dengan janji kita, kita akan ngobrol-ngobrol ya khan ? saya harap mbak Win nanti akan banyak bercerita kepada saya, bagaimana ? tidak lama koq, 15 menit saja ?

2. Kerja
“ Mbak Win coba sih ceritakan kenapa mbak Win bisa sampai dibawa kesini ?, mbak Win tahu tidak ini dimana ? Rumah sakit apa ?”.
“ Bagaimana perasaan mbak Win selama disini ?’.

3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang ?’.
2. Evaluasi obyektif
Coba mbak Win sebutkan lagi kenapa mbak win dibawa kesini ? ya ada lagi ?”.
3. Rencana Tindak lanjut
“ Baiklah mbak Win waktu kita sudah habis, besok kita ngobrol-ngobrol lagi tentang apa yang dialami mbak Win sampai bisa terdengar suara-suara itu !’.
4. Kontrak
“ Besok jam 08.00 WIB kita ketemu lagi ya ?, kita ngobrol dimana ? jangan lupa ya ?








STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : III Jam 08.00 WIB Tgl 29-10-2003
Pertemuan 3

1. Proses Keperawatan

1. Kondisi klien
Kontak mata baik, tertawa dan tersenyum, mengerti alur pembicaraan, mau menyapa.
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
4. Rencana tindakan keperawatan
• Lakukan kontak sering tapi singkat
• Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
• Bantu klien untuk mengenal halusinasinya
• Diskusikan dengan klien :
. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi
• Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halisinasi

2. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat pagi mbak Win ? bagiamana tidurnya tadi malam ?”.
2. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaanya sekarang ?”.

3. Kontrak
“ Mbak Win …..kita pagi ini ngobrol disini saja ya ?, jam 08.15 WIB s/d 09.00 WIB ya ?”.

2. Kerja
“ Mbak Win selama ini apa sih yang mbak Win rasakan, mbak dengar suara-suara ya ? suara-suara apa sih ? berapa kali suara itu muncul dalam satu hari ? kapan suara-suara itu muncul ? lalu apa yang mbak rasakan sewaktu suara-suara itu muncul ?”.
3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang setelah tadi kita berbincang-bincang ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba mbak Win sebutkan lagi suara-suara yang mbak dengar ?, jadi berapa kali ?”. Bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Iya…mbak Win sudah bagus hari ini karena sudah bisa menceritakan kepada saya, Nanti kita ngobrol-ngobrol lagi ya ? coba nanti diingat lagi mungkin ada yang terlupa !”.
4. Kontrak
“ Nanti jam 10.00 WIB kita ketemu lagi ya ?”.







STRATEGI PELAKSANAAN TINDAKAN KEPERAWATAN

Interaksi : IV Jam 10.00 WIB Tgl 29-10-2003
Pertemuan 4

1. Proses Keperawatan

1. Kondisi klien
Mau diajak bicara, stimulus dari perawat dulu, kontak mata baik, sering bengong
2. Diagnosa Keperawatan
Gangguan interaksi sosial : menarik diri b/d
3. TUK
2. Klien dapat mengenal halusinasinya
4. Rencana tindakan keperawatan
• Lakukan kontak sering tapi singkat
• Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya
• Bantu klien untuk mengenal halusinasinya
• Diskusikan dengan klien :
. Situasi yang menimbulkan/tidak menimbulkan halusinasi
. Waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi
• Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halisinasi

2. Strategi Komunikasi
1. Orientasi
1. Salam terapeutik
“ Selamat siang mbak Win kita ngomong-ngomong lagi yuk ?
b. Evaluasi/validasi
“ Bagaimana perasaanya sekarang ?”.


2. Kontrak
“ Mbak Win …..kita ngobrol disini saja ya ?, tidak lama koq 15 menit cukup, bersedia ?”.



2. Kerja
“ Mbak Win masih dengar suara-suara ya ? suara-suaranya mbak kenal nggak ? apa sih bunyinya suara-suara itu ? berapa kali suara itu muncul dalam satu hari ? kapan suara-suara itu muncul ? lalu apa yang mbak rasakan sewaktu suara-suara itu muncul ?”.
3. Terminasi
1. Evaluasi subyektif
“ Bagaimana perasaan mbak Win sekarang setelah tadi kita berbincang-bincang ?”.
2. Evaluasi obyektif
“ Coba mbak Win sebutkan lagi suara-suara yang mbak dengar ?, Bagus sekali !”.
3. Rencana tindak lanjut
“ Iya…mbak Win sudah bagus hari ini karena sudah bisa menceritakan kepada saya, kalau bisa ingat-ingat ya suara suara itu bunyinya apa dan kapan suara suara itu muncul !, besok kita ngobrol-ngobrol lagi ya ?
4. Kontrak
“ Besok jam 10.00 WIB kita ketemu lagi ya ?” di ruang televisi ya ?”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar